Thursday, 6 March 2025

Bagaimana Menyiasati Keuangan Rumah Tangga di Tengah Badai Efisiensi?

 

Design by Canva

Kok ngomongin keuangan rumah tangga, kaya udah pengalaman aja?

Eits, sabar... meskipun belum praktik berumah tangga apalagi beranak pinak, anak gadis ayah dan ibu ini udah belajar teori keuangan sampai lulus S2. Tolong jangan disepelekan juga pengalaman menerima curhatan ibu-ibu rumah tangga dan teman-teman yang udah pengalaman duluan jungkir balik makan asam garam kehidupan.

Jadi begini, kemarin seseorang menceritakan kegalauannya sebagai ibu dari tiga anak yang masih kecil. Satu sisi hatinya ingin bekerja di luar rumah demi memenuhi kebutuhan rumah tangga, satu sisi nuraninya tidak rela meninggalkan anaknya dalam pengawasan orang lain. Sejujurnya aku ikut bingung jika harus membalas langsung dan membahas pendapatku dalam ruang percakapan. Maka setelah semalaman berpikir, mungkin ada baiknya kutuang dalam tulisan agar lebih panjang dan tidak terdistraksi dengan balasan percakapan di ruang maya.

Nafkah Keluarga Tanggung Jawab Siapa?

Secara teori, tentu nafkah lahir batin istri dan anak adalah tanggung jawab penuh seorang suami sekaligus ayah. Mau pakai dalil mana? Semoga tidak ada yang membantah dengan kalimat, "Itu kan kalau suaminya mampu? Kalau enggak istri juga wajib ikut bantu kerja dong?" 

Hello, mana dalilnya kalau istri wajib ikut bantu kerja? Nggak ada. Mau bolak balik Al Qur'an dan hadits sepuluh kali, kalau bisa ketemu (bukan hasil penafsiran tapi kalimat lugas ya), mari makan bakso bersama. 

Masalahnya adalah: Bagaimana kalau suami tidak mampu menafkahi istri dan anaknya dengan baik? Apa yang harus dilakukan seorang istri?

Kalau berdasarkan syari'at, masalah ini perlu memjadi pembahasan solusi dalam keluarga besar. Karena hirarki sedekah paling utama adalah diri sendiri, kemudian keluarga, kerabat, dan orang-orang terdekat sebelum sedekah itu diberikan kepada orang lain. Hal ini sudah masuk dalam bab bagaimana berhubungan baik dengan keluarga. Mungkin orang tuanya lebih mampu, bisa membantu anak lelakinya untuk bangkit dengan memberi modal. Atau saudaranya lebih kaya, bisa membantu dengan cara yang ma'ruf.

Bagaimana jika tidak ada orang yang bisa membantu, kecuali istrinya? Sepaham saya istri boleh bekerja, tentu dengan izin suami, selama pekerjaan itu diniatkan memperluas manfaat diri, berkarya demi eksistensi dan contoh baik bagi anak-anaknya. Masalah gaji atau penghasilan itu bonus dan boleh dipakai memenuhi kebutuhan jika istri ridha untuk disedekahkan demi kepentingan keluarga. 

Jika dilihat dari sisi lain, kehidupan rumah tangga adalah perjalanan sebuah bahtera di tengah samudera dengan dua orang sebagai pengendalinya. Bahtera itu akan selamat menghadapi badai dan hujan atau gelombang sampai tujuan selama tim pengendali ini saling mendukung, kompak satu tujuan dan tidak memaksakan kehendak masing-masing. Itulah kenapa do'a terbaik untuk pengantin di titik awal perjalanan pernikahan sepasang suami-istri adalah barokah, sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bukan kaya, sukses dengan jabatan tinggi, anak banyak, atau jumlah properti.

Maka sungguh, solusi terbaik dari setiap masalah yang dihadapi dalam bahtera rumah tangga adalah solusi yang dihasilkan dari kesepakatan dua pengendalinya. Jika dua pengendali ini memiliki "pegangan" yang sama untuk menghadapi masalah (bisa berupa syari'at, aturan hidup, pedoman, prinsip), maka kesepakatan akan mudah dicapai. Sebaliknya, jika masing-masing memiliki prinsip berbeda dan tidak ada jalan tengah untuk mencari kesepakatan, maka tidak perlu heran jika bahtera yang sedang berlayar itu tampak terombang-ambing atau bahkan karam.

Solusi Terbaik Untuk Istri

Pada bagian ini, saya tidak merasa berhak memberi saran apapun. Hanya saja, karena saya pernah berperan sebagai "penumpang" dalam sebuah bahtera yang sedang kacau dan tidak memiliki hak mengambil alih kendali, ada satu hal yang saya paham: Tinggal di dalam bahtera yang sedang terombang ambing itu sungguh menyiksa. Saya tidak ingin mengulanginya, sebisa mungkin tidak akan pernah.

Baik, mungkin ada baiknya saya ceritakan sedikit di sini. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi siapapun yang membacanya nanti. Sekarang saya bisa melihat potret kehidupan saya sendiri saat masih kecil: menjadi anak pertama dari pasangan suami-istri yang belum stabil secara finansial dan emosional. Ini adalah bagian hidup yang cukup menyiksa, tapi sekaligus menjadi pelajaran berharga. Saya bisa melihat bagaimana ibu memainkan perannya dengan sangat baik meskipun sangat sulit.

Ayah saya pergi ke Brunei untuk bekerja sejak saya masih bayi. Jangan bayangkan kerja ke luar negeri gajinya besar dan ibu saya hidup sejahtera, karena kenyataannya tidak demikian. Uang ayah entah dipakai apa, kami tidak pernah benar-benar tahu, yang pasti ibu tidak mendapat jatah bulanan. Kalau soal diberi uang iya, tapi rutin dan cukup? Saya tahu pasti jawabannya: tidak. Sementara beberapa tahun kemudian saya masuk sekolah, ibu tidak perlu mendampingi saya 24 jam, jadi bisa ditinggal bekerja beberapa jam.

Setelah beberapa tahun menjalani pernikahan jarak jauh, ayah jarang pulang, akhirnya ibu mengajak saya menyusul ayah yang sudah pindah kerja di Jakarta agar kami bisa hidup bersama. Apakah hidup menjadi lebih baik bagi saya? Minimal saya punya sosok "ayah" di kehidupan nyata, yang bisa saya temui setiap hari. Soal kenyamanan? Kami masih harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, hidup serba terbatas, bahkan bertahun-tahun terbiasa memakai pakaian bekas. Bagian ini menyedihkan jika diceritakan. Sementara tujuan tulisan ini kan bukan buat pembaca merasakan kesedihan saya saat itu. 

Mari kita lanjutkan tulisan ini dengan pelajaran berharga yang saya dapat selama menjadi penumpang dalam bahtera 'kacau' itu. Saya sadar, bahwa tidak ada kehidupan tanpa ujian, tidak ada perjalanan rumah tangga yang mulus tanpa badai dan gelombang. Pasti ada saat di mana salah satu pengendali bahtera tidak berdaya, maka pengendali lainnya harus menguatkan.

Sepasang suami-istri boleh berkontribusi sesuai kemampuan masing-masing, tidak harus selalu 50%:50%, bisa jadi 30%:70%, atau 60%:40%, tergantung kondisi dan kesepakatan yang sudah diputuskan. Bahkan jika kontribusi itu hanya bisa dipenuhi dengan porsi 10%:30%, semoga tetap bisa mencukupi kebutuhan tenaga agar bahtera tetap berlayar selamat sampai tujuan.

Sebuah Penawaran

Secara prinsip saya yakin dan tahu bahwa Allah sudah menjamin rezeki setiap hamba. Bahkan hewan melata saja dijatah rezekinya dengan sangat baik meskipun ia bersembunyi di lubang gelap dan kecil. Apalagi manusia yang dikaruniai akal dan kemampuan beradaptasi dengan alam luar biasa? Maka dengan prinsip ini, saya tahu pertanyaan berikutnya adalah bagaimana mendapatkan "jatah rezeki" itu dan "merasa cukup". Tentu saja jawabannya sangat teknis dan subjektif, karena setiap orang memiliki sumber daya berbeda. 

Saya beruntung, sangat beruntung menjadi anak dari ibu yang pandai beradaptasi di segala kondisi. Meskipun tidak berpendidikan tinggi, sungguh ibu kami sangat hebat. Saat kebutuhan hidup minimal kali belum terpenuhi, ibu tahu bagaimana mengatur waktu dan mengendalikan anak agar bisa ditinggal bekerja, dengan memanfaatkan keluarga besar agar bisa menitipkan saya ke mereka sementara. Saat tidak ada kesempatan bekerja di luar, ibu memanfaatkan lahan sekitar rumah dengan menanam sayur dan sumber makanan sehingga bisa menekan kebutuhan belanja. Ibu tidak sungkan menerima pakaian bekas yang masih bagus untuk dipakai anaknya, tidak mengeluh meskipun harus naik sepeda berkilo-kilo meter demi anak dan suaminya.

Sekarang saya paham betul, bahwa sabar bukan sifat yang terbentuk secara instan. Ia adalah buah dari perjalanan panjang, penerimaan, kegigihan atas tujuan, dan rasa percaya bahwa ada Allah bersamanya. Sifat ikhlas tidak akan pernah didapat manusia tanpa ujian demi ujian yang berhasil dilalui dengan rasa tenang, karena Allah pasti tunjukkan jalan keluar.

Kemudian dari setiap ujian dan rasa sulit yang harus kita hadapi saat ini, apa yang menjadi prioritas dan prinsip hidup kita? Apakah pilihan-pilihan kita mengarah pada tujuan utama hidup atau sebaliknya? Apakah kita sudah mengerahkan semua sumber daya yang ada untuk bertahan dari badai yang menyerang, atau memilih menyerah di tengah perjalanan?

Percayalah, badai efisiensi itu bukan soal ujian utama dalam pengelolaan keuangan rumah tangga. Karena ujian sebenarnya adalah bagaimana setiap ujian itu membawa kita mendekat, kembali, mengutamakan Allah di atas semua urusan duniawi. Semoga Allah menjaga kita dalam iman dan islam yang benar, selalu bisa melihat sisi baik dari setiap peristiwa, dan mampu memutuskan untuk berbahagia dalam setiap keadaan. 

No comments:

Post a Comment