Wednesday 18 September 2024

Apakah Minta Tolong Ada Batasnya? Mari Kita Bahas

boundaries

Siapa yang pernah kesal setelah dimintai tolong dan muncul hasrat tidak ingin menolong? Yuk merapat. Tulisan kali ini setengah curhat, jadi boleh dibaca lengkap dengan menghadirkan hati dan pikiran. Sebagai pembuka, kutuliskan sebuah cerita permintaan tolong yang menggerus rasa percaya dan hormatku pada seseorang.

Suatu siang yang terik, aku ada urusan keluar bersama beberapa rekan. Ponsel di genggamanku menyala pertanda notifikasi pesan masuk, memang tidak bunyi karena pada beberapa kondisi tertentu aku lebih suka mode senyap, bebas dari suara pesan masuk atau panggilan yang cukup mengganggu. Ternyata isinya permintaan tolong untuk transfer bayar pendaftaran lomba ke rekening yang aku tidak punya akun di bank tersebut. 

Kusampaikan baik-baik bahwa aku tidak punya rekening bank tujuan, artinya perlu biaya admin, waktu mengetik ulang nomor rekening dan sebagainya, tapi pengirim pesan ini tetap ingin aku yang transfer, nanti biaya admin dan lain-lain akan diganti dengan dia setor tunai (karena tidak ada uang di rekeningnya sementara dia pegang uang tunai), atau uang tunai itu akan diberikan ke ibuku. Kulihat sekilas nominal yang harus ditransfer adalah Rp200,209 atau dibaca dua ratus ribu dua ratus sembilan rupiah, dan satunya Rp200,013 (dua ratus ribu tiga belas rupiah), sepertinya nominal pendaftaran sebesar dua ratus ribu ditambah kode unik agar mempermudah verifikasi. 

Otakku berpikir cepat, mana mungkin kode unik sebagai syarat pendaftaran itu di-uang tunai-kan? Kalaupun dia mau setor tunai ke rekeningku, jumlah yang kembali nanti jadi lebih dari jumlah utang, tidak nyaman rasanya menerima kelebihan pembayaran utang dengan cara demikian. Atau mau dititip ke ibu? Ah, jelas uang itu akhirnya harus kurelakan saja kalau begitu. Tidak mungkin kan aku minta ibu transfer ke rekeningku? Sudah jelas nanti aku harus bilang, "Pakai saja bu uangnya kalau mau." Lalu siapa orangnya yang tidak mau pakai uang kalau memang diberi kesempatan apalagi tidak perlu mengembalikan?

Pertanyaan berikutnya: Apa ada uangku yang benar-benar sedang "menganggur"? Karena ribet masih ada urusan dan sejujurnya kondisi keuanganku sedang dalam budget ketat, artinya aku sedang sangat perhitungan dengan pengeluaran, kubilang nanti ya diurus lagi. Bukan nominal yang sangat besar, memang, tapi bisa membuat alokasi dana lainnya harus menyesuaikan. Apalagi pendapatan tengah bulan belum cair hingga menjelang akhir bulan begini.

Selesai urusan di luar dan lain-lain, sampai malam tidak ada pesan dari orang yang sama. Kupikir urusan itu sudah beres. Lagian apa susahnya transfer dua kali ke rekening sesuai permintaan panitia lomba untuk mendapat 2 bukti transfer yang perlu diunggah sebagai bukti daftar? 

Toh sekarang banyak orang pakai m-banking. Kalaupun tidak pakai aplikasi bank yang menggoda orang menggunakan isinya sewaktu-waktu, kan ada banyak agen BRI-Link di pelosok desa sekalipun. Bank rakyat ini memang sungguh merakyat, menjangkau layanan sampai ke pinggir sawah atau bahkan daerah yang tidak terjangkau angkot.

Kupikir Ini Urusan Sederhana

Jadi, kupikir ini bukan urusan mendesak. Pengirim pesan itu bisa dengan mudah menyelesaikan masalahnya. Dia bisa pergi ke agen BRI-Link dekat rumahnya, dua menit juga sampai. Transfer dua kali ke rekening bank tujuan (meski beda bank dia bilang sanggup bayar biaya admin, kan?), urusan selesai. Atau bisa juga minta tolong orang-orang terdekatnya yang pakai m-banking, bayarnya lebih cepat dan jauh lebih praktis daripada harus menghubungiku yang terpaut jarak 548 km, atau setara dengan perjalanan mobil selama 8 jam 59 menit, 13 jam dengan motor (asumsi tanpa istirahat) atau 5 hari jalan kaki menurut Google Maps.

Kupikir, urusan ini sudah benar-benar selesai. Karena yang minta tolong punya jabatan "kepala sekolah", yang tentu saja dikelilingi oleh guru-guru pintar nan suportif. Apa susahnya guru-guru atau karyawan atau saudaranya menyukseskan rencana mengikuti perlombaan yang berpotensi membawa nama baik sekolah itu? Pasti tidak susah.

Ternyata, pagi ini beda cerita. Apa yang kupikir sederhana tidak begitu hasilnya. Sekitar jam 9 pagi ini notifikasi pesanku kembali menyala, pengirim pesan yang sama dengan kemarin kembali bertanya apakah aku bisa menolongnya? Astaga.... Jadi waktu lebih dari 18 jam berlalu dia pakai untuk apa kalau tidak menyelesaikannya sendiri atau minta tolong orang-orang sekitarnya?

Jariku tiba-tiba gatal ingin mengetik: Astaga.... belum beres? Kirain udah dari kemarin selesai. Jauh amat minta tolongnya, di situ masa nggak ada yang mau bantu? Tapi kutahan. Nanti dikira aku julid, kan? Repot. Setelah beberapa menit mempertimbangkan kestabilan kondisi keuangan dan memeriksa tidak ada uang yang benar-benar sedang "nganggur" di rekeningku sampai beberapa pekan ke depan, balasan yang kuketik adalah memintanya menyelesaikan sendiri bersama orang-orang terdekat saja biar enak dan lebih cepat urusannya. Aku bahkan tak ingin peduli jika dikatakan pelit, jahat, atau sejumlah umpatan lain, sungguh aku tidak ingin peduli.

Dia jawab beberapa menit kemudian dengan dua huruf: ok. Kupikir urusan ini beanr-benar sederhana, tidak ada predikat pelit, jahat, malas, atau kosakata menyebalkan lain yang kuterima. Semoga memang aku tidak sedang pelit, hanya bersikap realistis. Semoga aku bukan jahat, tapi memaksanya menyelesaikan sendiri urusan sederhana ini tanpa menyiksa. Semoga aku memang bukan tidak peduli, tapi bersikap rasional sebagaimana aku sendiri tidak mudah meminta tolong atas urusan yang bisa kukerjakan sendiri.

Apakah Permintaan Tolong Punya Batasan?

Akhirnya kita sampai pada bagian inti tulisan ini, kan? Cukup sudah cerita pembukanya, jangan diteruskan agar tidak terlalu mudah dibaca kehidupan dunia nyata kita. Pagi yang cerah sekaligus sedikit mendung membuat udara dingin seolah tidak mau pergi dari salah satu kota pemilik kaki gunung Galunggung sampai siang hari ini. Otakku kembali memproses pertanyaan tentang batasan permintaan tolong.

Seingatku, belum pernah kutemui ayat atau hadits atau teks hukum yang membatasi permintaan tolong seseorang kepada orang lain sejauh ini. Ada orang yang sungkan sekali minta tolong, berusaha menyelesaikan segala urusannya sendiri. Sampai yang dimintai tolong kerap menawarkan diri, apa lagi yang bisa dibantu?

Ada juga orang yang dengan mudah minta tolong, pun suka menolong. Jadi apapun urusannya dianggap ringan saja meskipun sebenarnya berat. Mau pinjam pesawat jet pribadi? Boleh. Apalagi cuma uang ratusan ribu, ringan saja urusannya. Ada juga orang yang sedikit-sedikit minta tolong, seolah dirinya tidak berdaya guna sehingga cukup orang lain yang mengerjakan selama dia sendiri bisa tidak repot. Perkara orang lain repot? Ya ndak tau kok tanya saya.

Kira-kira begitu. Jadi, kita termasuk yang mana? 

Aku? Logika dan perjalanan hidup mengajarkan bahwa suka menolong itu baik, tapi tidak selalu baik. Bermurah hati itu baik, tapi tidak selamanya bisa dianggap baik oleh orang lain. Kenyataannya, kita baik pun masih bisa dinilai buruk dan menyebalkan bagi orang lain. Ada saatnya aku bahagia sekali bisa menolong, meringankan beban orang lain, membantu tanpa pamrih, menyelesaikan masalah tanpa diminta. Seperti halnya ada saatnya aku tidak ingin menolong, jika melihat pertolongan itu ada atau tdak nilainya sama. Kadang aku justru harus menahan diri dari menolong, agar diri sendiri juga tidak mudah meminta tolong kecuali penting sekali. Ternyata soal tolong menolong juga bisa jadi pelajaran bagi diri sendiri.

Boundaries

Faktanya, kita memang tidak selalu available, atau mampu memenuhi kehendak orang lain. Kita hidup dalam batasan-batasan tertentu yang orang lain tidak berhak menghakimi keterbatasan kita dengan predikat semau mereka. Orang sekarang lebih suka menyebutnya sebagai "boundaries", bahasa sederhananya: batasan. 

Kalau merujuk dari website milik djkn Kemenkeu, boundaries merupakan limit yang menandakan hal-hal mana yang dapat diterima dan tidak, apa yang bisa ditolerir atau tidak, baik itu berlaku baik bagi orang lain ataupun diri kita sendiri. Kita berhak dan boleh menetapkan batasan diri atas orang lain. Tidak ada orang yang boleh menabrak atau bahkan menghancurkan batasan itu "sak karepe dewe". Boundaries ibarat sebuah rumah yang memiliki tembok, pintu, pagar, agar orang lain tidak sembarangan masuk dan berlalu lalang. Pemiliknya berhak untuk hidup tenang di dalam rumah itu.

Sama dengan hati, kekayaan, isi pikiran, sikap, semua berhak memiliki wilayah ketenangan yang dibatasi dengan boundaries itu. Maka jika seseorang telah menetapkan pilihan, mengambil keputusan, menyampaikan kemauan, ia sudah menetapkan batasan tertentu yang tidak boleh diganggu gugat dengan label pelit, jahat, menyebalkan, atau bahkan dengan kalimat, "Halah gitu doang...". Jika batasan itu dilanggar dengan sejumlah predikat atau kalimat yang tidak menyenangkan, maka menjadi wajar ketika kita kehilangan respect atau rasa hormat kepada pemberi predikat itu. Akhirnya timbul perasaan, "Udahlah malas sama dia, nanti jadinya begini atau begitu...".

Setelah menulis sepanjang ini dan setengahnya adalah curhat, alih-alih membahas panjang tentang boundaries, kuakui isi kepalaku sedikit lebih lapang. Memang menuliskan sesuatu yang memenuhi isi kepala bisa meringankan rasa, ya? Alhamdulillah... 

Sampai jumpa di tulisan curhat berikutnya, hehe. Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI



No comments:

Post a Comment