Memangnya ada, perbedaan membaca buku karya ulama dan penulis kontemporer? Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita sepakati dulu perbedaannya. Sepemahaman saya, buku karya ulama berisi ilmu dan hukum yang disebarluaskan dalam bentuk kitab. Sebagian ulama men-syarah, menulis dan menjelaskan ulang isi kitab ulama pendahulunya.
Sementara penulis kontemporer yang saya maksud adalah penulis yang sekarang banyak menulis, menerbitkan buku dan dipasarkan di media sosial. Ciri khas dari karya penulis kontemporer adalah mudah dikategorikan genrenya, apakah masuk buku motivasi, islami, remaja, parenting, atau lainnya. Masuk fiksi atau non fiksi, masuk buku referensi atau buku umum.
Beruntung saat SMA sudah ada perpustakaan yang lebih nyaman, sebagai tempat nongkrong paling sering saya kunjungi, terutama saat jam kosong. Saya mengenal novel di masa ini, masih ingat novel pertama paling berkesan: Diorama Sepasang Al Banna. Tentang dua arsitek yang kemudian bertemu dengan karakter hampir saling bertentangan, namun akhirnya menikah.
Setelah SMA, semakin banyak buku yang harus saya baca. Kali ini saya merasa diwajibkan dan dituntut untuk membaca. Tidak banyak lagi novel dan buku cerita yang saya temui, hanya buku referensi yang harus saya baca berulang kali agar bisa menyelesaikan tugas dan selesai kuliah dengan baik.
Sampai saat ini, saya masih suka membaca, baik fiksi maupun non fiksi. Baik jurnal maupun buku referensi. Novel maupun puisi. Memang tidak terhitung berapa halaman buku yang sudah saya tuntaskan di tahun ini. Saya tidak lagi pandai berhitung dengan lembar kertas dan halaman demi halaman buku elektronik. Selama merasa butuh, ya baca. Apalagi demi tugas atau memenuhi rasa ingin tahu. Kadang tuntas, kadang diambil apa yang dibutuhkan saja, tutup lagi.
Berbeda dengan buku-buku kontemporer, yang isinya lebih banyak penjelasan dibanding dengan inti sari yang ingin disampaikan. Mudah saja membuat ringkasan, minimal dari poin yang masuk daftar isi dan menceritakan kembali inti pembahasan di bagian tersebut. Setelah jadi ringkasan, tanpa membaca full-text, orang tetap bisa paham dengan mudah inti buku tersebut.
Pada kitab tersebut, pembaca tidak akan menemukan definisi khusus tentang maqashid syariah, karena penulis memang tidak menuliskannya dalam kalimat khusus. Akan tetapi siapapun yang membaca dari awal hingga akhir pasti paham dan bisa menyimpulkan sendiri apa itu maqashid syariah.
Karena dari para guru itulah kita lebih mudah memahami maksud tulisan para ulama pendahulu. Merakalah kepanjangan tangan para Nabi, yang mendakwahkan syariat dan aqidah Islam sehingga kita bisa memahami dengan baik. Tanpa ada forum pengajian, yang saat ini kebanyakan hadirin adalah para ibu, entah apa jadinya ummat Islam ini.
Sekali lagi, tulisan ini adalah opini pribadi. Kalian boleh punya pandangan berbeda mengenai masalah di atas. Karya ulama dan penulis kontemporer tentu sama baiknya. Karena sesungguhnya ilmu itu netral, yang tidak adalah persepsi pembacanya. Semoga terlepas dari apapun perbedaan pandangan kita tentang karya tulis, hobi membaca tetap bisa kita lestarikan.
Perjalanan Membaca
Dulu, saya suka membaca dan menjadikannya salah satu hobi. Sejak kecil memang saya suka membaca, terutama karya fiksi seperti cerpen dan novel. Om saya suku membawa pulang majalah Bobo dan Mentari bekas dari rumah mertuanya, saya melahapnya tanpa kecuali. Buku bahasa Indonesia tingkat SD sampai SMA habis saya baca bagian ceritanya. Kalau ketemu koran atau potongan majalah di bungkus makanan, pasti penasaran isinya apa, jadi dibaca juga.Beruntung saat SMA sudah ada perpustakaan yang lebih nyaman, sebagai tempat nongkrong paling sering saya kunjungi, terutama saat jam kosong. Saya mengenal novel di masa ini, masih ingat novel pertama paling berkesan: Diorama Sepasang Al Banna. Tentang dua arsitek yang kemudian bertemu dengan karakter hampir saling bertentangan, namun akhirnya menikah.
Setelah SMA, semakin banyak buku yang harus saya baca. Kali ini saya merasa diwajibkan dan dituntut untuk membaca. Tidak banyak lagi novel dan buku cerita yang saya temui, hanya buku referensi yang harus saya baca berulang kali agar bisa menyelesaikan tugas dan selesai kuliah dengan baik.
Sampai saat ini, saya masih suka membaca, baik fiksi maupun non fiksi. Baik jurnal maupun buku referensi. Novel maupun puisi. Memang tidak terhitung berapa halaman buku yang sudah saya tuntaskan di tahun ini. Saya tidak lagi pandai berhitung dengan lembar kertas dan halaman demi halaman buku elektronik. Selama merasa butuh, ya baca. Apalagi demi tugas atau memenuhi rasa ingin tahu. Kadang tuntas, kadang diambil apa yang dibutuhkan saja, tutup lagi.
Ada Perbedaan Kesan Membaca Karya Ulama dan Penulis Kontemporer, Lho!
Menariknya, saya jadi semakin paham bahwa ada perbedaan besar dari karya orang-orang hebat tersebut. Penasaran? Tunggu, disclaimer dulu. Ini adalah hasil pengamatan saya pribadi, bisa jadi Anda punya pandangan berbeda. Kalau setuju, boleh lah ya tulisan ini disebarluaskan, biar lebih banyak yang bisa ambil manfaatnya.1. Tulisan Para Ulama Tidak Mudah Dibuat Ringkasan
Sampai sekarang saya tidak pernah mampu membuat ringkasan kitab yang pernah saya baca, baik sebagai referensi mata pelajaran, mata kuliah, maupun sekadar sumber pengetahuan. Rasanya terlalu berat menulis ringkasannya, karena kitab-kitab itu sudah ditulis sangat ringkas sebagai inti sari ilmu yang ingin disampaikan. Bagaimana mungkin menulis ringkasan dari ringkasan, kan?Berbeda dengan buku-buku kontemporer, yang isinya lebih banyak penjelasan dibanding dengan inti sari yang ingin disampaikan. Mudah saja membuat ringkasan, minimal dari poin yang masuk daftar isi dan menceritakan kembali inti pembahasan di bagian tersebut. Setelah jadi ringkasan, tanpa membaca full-text, orang tetap bisa paham dengan mudah inti buku tersebut.
2. Tulisan Para Penulis Kontemporer Cenderung Bertema Spesifik
Buku-buku kontemporer dipajang dengan rak khusus di toko buku sesuai dengan genre, sehingga memudahkan pembaca mencari klasifikasi bukus esuai kebutuhannya. Buku pelajaran berbeda dengan buku motivasi, berbeda rak khusus karya fiksi, berbeda dengan buku bertema filsafat. Semua bisa digolongkan dengan mudah, dan rupanya memang demikian tuntutan industri perbukuan terutama di Indonesia.3. Pembahasan Para Ulama Cenderung Luas dan Dalam
Contoh sederhana, kitab Al-Muwafaqat yang ditulis oleh Imam Abu Ishaq asy-Syatibi. Secara bahasa, kitab tersebut berarti “Persetujuan”, tetapi setelah paham isinya, banyak ulama yang menobatkan beliau sebagai “Bapak Maqashid Syari’ah”, atau ulama yang pertama membahas tentang tujuan adanya hukum (syari’at).Pada kitab tersebut, pembaca tidak akan menemukan definisi khusus tentang maqashid syariah, karena penulis memang tidak menuliskannya dalam kalimat khusus. Akan tetapi siapapun yang membaca dari awal hingga akhir pasti paham dan bisa menyimpulkan sendiri apa itu maqashid syariah.
4. Tulisan Kontemporer Mudah Dipasarkan
Mungkin karena temanya sudah spesifik, target pasarnya pun jelas. Para penerbit dan penulisnya sendiri aktif memasarkan karyanya sesuai dengan target pasar yang disasar sejak awal. Ringkasan yang membuat pembaca penasaran, caption dan memasarkannya lewat media sosial. Berbagai konten pendukung dibuat, akan lebih bagus jika ada kondisi real yang “mendukung” tulisan tersebut, bisa dijadikan bahan konten.5. Tulisan Para Ulama Membutuhkan Penjelasan Lebih Lanjut
Satu lagi hal unik yang saya perhatikan dari karya tulis para ulama terdahulu. Mungkin karena ringkas dan padatnya, selalu membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Sebenarnya dalam hal ini kita beruntung karena memiliki guru-guru para ulama salafus shalih yang berkenan memberikan kajian para forum-forum pengajian. Baik secara langsung maupun daring.Karena dari para guru itulah kita lebih mudah memahami maksud tulisan para ulama pendahulu. Merakalah kepanjangan tangan para Nabi, yang mendakwahkan syariat dan aqidah Islam sehingga kita bisa memahami dengan baik. Tanpa ada forum pengajian, yang saat ini kebanyakan hadirin adalah para ibu, entah apa jadinya ummat Islam ini.
Sekali lagi, tulisan ini adalah opini pribadi. Kalian boleh punya pandangan berbeda mengenai masalah di atas. Karya ulama dan penulis kontemporer tentu sama baiknya. Karena sesungguhnya ilmu itu netral, yang tidak adalah persepsi pembacanya. Semoga terlepas dari apapun perbedaan pandangan kita tentang karya tulis, hobi membaca tetap bisa kita lestarikan.
Thank you for sharing such valuable insights and practical tips in this blog post. It's refreshing to see positive solutions and encouragement for overcoming challenges and achieving personal growth.Monmouth County Trespassing Lawyer
ReplyDelete