Pekan kedua 2023 |
Validasi emosi adalah bentuk pengakuan atas apa yang sedang dirasakan. Pengakuan itu berarti kita menyadari kelemahan diri sebagai manusia biasa yang bisa marah, kecewa, bahagia, terharu, puas bahkan sakit hati atas perbuatan orang lain, kemudian menerimanya sebagai bentuk keikhlasan atas takdir.
Umumnya perasaan yang membutuhkan validasi emosi adalah perasaan negatif, yang membuat seseorang merasa tidak nyaman. Ego dan naluri bertahan membuat banyak orang tahu bahwa dirinya marah, kecewa, tapi tidak berani mengakuinya karena tidak ingin dianggap lemah.
Kadang aku bingung, apakah lingkungan kita sejahat itu sehingga ketika ada orang yang marah, kecewa, atau ingin meluapkan emosinya itu buruk? Atau kita sendiri yang berekspektasi menjadi manusia setengah dewa, yang bertindak atau mengucapkan sesuatu tanpa emosi apapun?
Padahal kalau bisa menerima bahwa diri sendiri memang banyak kurang, ya tetap ada orang yang menganggap kita istimewa. Begitu juga ketika kita berhasil meraih suatu prestasi, tetap ada orang yang menganggap kita biasa aja. Kalau bukan kita sendiri yang bisa ikhlas dengan setiap kejadian dan perasaan, lalu siapa lagi?
Rasa ikhlas itu mengajarkan banyak hal, dan yang terpenting bukan tentang mengapa harus memaafkan orang lain atas kesalahan yang sudah terjadi. Lebih dari itu, rasa ikhlas harus diraih agar diri sendiri bisa menjadi lebih baik dalam bersikap, berkata, dan mengelola emosi dalam diri.
Tulisanku di pekan lalu menyebutkan tentang hal-hal yang membuatku sakit, dan sebaliknya. Beberapa kenangan menyenangkan terjadi agar kita sadar bahwa hidup selalu berputar, seperti bumi yang tak berhenti melakukan rotasi. Tidak semua yang harus kita hadapi itu mendatangkan luka, justru seringkali sebaliknya. Hanya saja, kita terlalu sedikit mengalokasikan perhatian, apalagi bersyukur atas nikmat yang sesungguhnya jauh lebih banyak dari rasa sakit itu.
Jadi, apa yang menarik di pekan ini?
Pertama adalah pengakuan bahwa pekan sebelumnya aku merasa marah, kesal dengan beberapa kejadian. Pengakuan itu menyadarkanku untuk menghadapi konsekuensinya, yaitu: tidak bisa mengendalikan persepsi dan sikap orang lain terhadap kita. Orang lain berhak berasumsi atau bertindak apapun tanpa bisa kita atur sepenuhnya.
Kabar baik dari kenyataan ini adalah bahwa sesungguhnya kita masih bisa mengendalikan sikap, ucapan dan perasaan kita sendiri. Maka apapun yang kita ambil sebagai tindakan atau respon terhadap sesuatu, masih bisa diatur sesuai dengan prinsip, aturan dan nilai yang kita yakini. Bukankah ini baik? Maksudku fakta bahwa kita adalah pengendali mutlak atas diri sendiri.
Kebencian Orang, Bukan Kebencian Kita
Ketika orang lain marah, lalu melampiaskan dengan mengucapkan kalimat buruk kepada kita, sesungguhnya itu adalah masalahnya. Bukan masalah kita. Begitu juga ketika seseorang membenci, maka kita tidak ikut memiliki rasa benci yang sama, selama kita bisa mengendalikan diri untuk tidak mengambil kemarahan atau kebencian itu untuk diri kita.Kita diminta bertanggung jawab atas apa yang kita ucap, rasa, dan lakukan. Bukan atas perbuatan, perasaan, atau ucapan orang lain. Maka sadarilah bahwa batasan itu ada dan selalu terbentang jelas, antara kita dengan orang lain. Kesadaran ini penting agar kita bisa dan berani mengambil sikap berbeda ketika seseorang marah, benci, atau bahkan bertindak bahaya.
Sifat Sosial Manusia Meninggikan Empati
Sementara pada dasarnya emosi kita adalah wilayah kekuasaan pribadi, di sisi lain hukum alam berbunyi bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan komunitas, selalu ada hal-hal yang bisa menjadi alasan untuk menusia saling berkumpul, membentuk persekutuan, saling mendukung, bahkan saling mencinta dan menyayangi.
Rasanya pekan ini aku belajar banyak tentang dua sisi manusia yang kerap mengalami konflik, sekaligus mendeklarasikan diri sebagai makhluk komunal. Keberhasilan validasi emosi yang dibahas di awal tulisan ini berperan sangat penting dalam pengendalian diri manusia saat berada di antara manusia lain.
Inilah yang menjadikan kehidupan manusia sangat dinamis. Di satu sisi kita memiliki kehidupan pribadi yang tidak boleh diacak-acak orang lain, di sisi lain kita bisa saling mengganggu dan merepotkan untuk memenuhi hajat hidup yang tak bisa berhenti sebelum mati. Mungkin memang beginilah desain kehidupan manusia sebelum diciptakan.
Setiap orang ditakdirkan memiliki peran tertentu dalam kehidupan dunia. Ada yang menjadi musisi, pedagang makanan, pakaian, guru, tentara, polisi, dan sebagainya. Termasuk ada juga yang merasa nyaman menjadi pengemis, untuk memaksa orang-orang yang ditemuinya membagi rezeki yang sudah mereka terima.
Tidak masalah jika dalam menjalani hidup kita harus menemui konflik, perasaan tidak nyaman, kecewa, takut, sekaligus penuh harapan, tidak khawatir terjadi sesuatu yang buruk, memaksimalkan kemampuan mengelola keuangan, dan jutaan peristiwa lain. Tidak masalah, karena begitulah kehidupan dunia dijalankan.
Toh pada akhirnya, manusia hanya bisa saling berkumpul dengan manusia lain yang memiliki frekuensi serupa. Baik dalam keimanan, prioritas hidup, prinsip, hobi, dan lainnya. Ada yang bida berkumpul karena hobi yang sama, tapi berpisah karena kebiasaan ibadah yang berbeda. Hidup jadi banyak warna jika demikian, kan?
Kalau sudah tahu akhirnya bakal begini, kenapa nggak sejak awal saja kita biasakan melakukan validasi emosi. Kurasa ini baik tidak hanya untuk para orang tua yang ingin mempraktikkan ilmu parenting pada anak-anaknya. Orang-orang dewasa yang saat kecilnya tidak diajari mengakui perasaan diri juga perlu belajar hal ini.
No comments:
Post a Comment