Pekan terakhir di bulan pertama tahun 2023 ini rasanya
istimewa. Saya mendapat teguran, ujian, sekaligus nasehat yang perlu
diabadikan, minimal lewat tulisan ini. Betapa sering seseorang merasa bahwa
ujian yang harus dihadapinya terasa sangat berat, bahkan paling berat di dunia?
Saya pikir, setiap orang pernah merasa begitu.
Sekitar sepuluh tahun lalu, saya pernah mengalami gangguan
ritme jantung. Setiap kali drop, jantung saya berdetak cepat tidak teratur, tekanan
darah menurun drastis, suhu tubuh turun, dan rasanya lemas sampai hampir
pingsan. Beberapa kali saya benar-benar pingsan. Setiap kali kambuh, saya
merasa jatah hidup sudah hampir habis. Saya siap dipanggil kapanpun, meskipun
ibadah sedikit.
Kalau sudah sakit separah itu, harapan sembuh rasanya
terlalu tinggi. Apalagi bisa kembali “hidup normal”, itu seperti cita-cita yang
hanya ilusi. Singkat cerita, Allah punya rencana lain sehingga saya bisa pindah
domisili, melanjutkan kuliah magister, merantau lagi, dan sekarang bisa jadi
dosen. Jauh dari rumah pula.
Ujian Pekan Ini
Waktu berlalu begitu saja, alhamdulillah sejak 2015akhir -
awal 2023 ini rasanya tubuh jauh lebih sehat. Kadang masih nggak percaya kalau
ujian berat waktu itu bisa dilalui dengan baik. Meskipun saya sadar, ujian
hidup belum selesai, minimal sampai hidup kita berakhir di dunia ini.
Pekan terakhir di bulan Januari, saya sedang menunggu kabar
besar yang akan menjadi pembuka jalan hidup dan nasib saya berikutnya. Beberapa
orang dekat sempat berpikir saya sedang mabuk cinta. Salahkah? Nggak juga
sebenarnya, cuma kok rasanya saya belum beneran mabuk.
Anggaplah saya sudah merencanakan banyak hal terhadap status
cinta ini, biar nggak dianggap jomlo selamanya. Padahal ya emang nggak pernah
berniat selamanya jadi jomlo, cuma nasib aja sih yang harus dijalani. Masalahnya
adalah, kabar yang datang justru antitesis terhadap harapan saya. Rasanya
ibarat sudah mau buka pintu biar cepat masuk rumah, kuncinya hilang.
Sedih? Pasti.
Nangis? Iya.
Jujur nih. Hari Kamis ba’da maghrib tangis saya tidak
berhenti sampai beberapa puluh menit. Sampai capek, sesak, dan ngantuk. Mirip
anak kecil kalau ngambek, kan? Emang saya masih kecil, huft.
Kenapa sampai nangis? Patah hati? Nggak bisa move on? Atau
sakit hati karena harapan tidak sesuai kenyataan? Sungguh, kalau benar itu yang
terjadi, mungkin tidak perlu menangis. Sudah lama menangis jadi pekerjaan sulit
buat saya.
Tangisan itu menjadi panjang dan terasa berat karena saya
tidak mampu menjawab pertanyaan diri sendiri:
Apa yang sebenarnya Allah mau dengan ujian ini?
Apa yang harus saya lakukan selanjutnya?
Saya harus bagaimana biar Allah ridha dengan doa-doa saya?
Apa dosa saya sehingga harus menghadapi ujian seberat ini?
Pertanyaan itu berputar di kepala, tanpa menemukan
jawabannya. Akhirnya hati saya sedih, merasa diabaikan dan tidak dianggap
penting sama Allah. Apa artinya seorang hamba yang tidak mendapat perhatian
dari penciptanya? Bagi saya, diabaikan olehNya itu berarti bencana.
Ujian Saya Bukan Yang Paling Berat
Hari jum’at pagi, saya melihat status beberapa teman,
termasuk adik angkatan di SMA. Sepertinya anaknya rawat inap di RS, setelah
beberapa hari yang lalu statusnya menunjukkan kesedihan. Saya membalas status
itu, menanyakan kondisi anaknya. Ternyata benar, salah satu anaknya dirawat
karena thypus. Satunya lagi sakit, dititipkan di rumah pengasuhnya. Dia
sendiri? Sakit juga.
Kebayang seorang ibu muda, dosen, pekan kemarin dia bilang
sedang mengurus kenaikan pangkat (saya pikir itu belum beres), dia jatuh sakit,
dua anaknya yang masih balita juga sakit, dan harus mengurus semua sendiri.
Suaminya ada, kan harus kerja juga. Pengasuhnya pun sakit. Bisa apa seorang ibu
dalam kondisi seperti itu? Kalau saya, mungkin sudah entah…
Hal istimewa lainnya adalah, adik dosen ini sedang ulang
tahun. Ya, 27 Januari adalah hari lahirnya. Hari istimewa yang harusnya dilalui
dengan bahagia bersama keluarganya tersayang, harus dilalui di bilik rumah
sakit demi kesembuhan anak sulungnya. Saya bahkan lupa kalau dia sedang ulang
tahun hari itu. Maaf, ya…
Semoga Allah mengganti setiap kesedihanmu dengan masa depan
yang jauh lebih baik, kemudahan dalam menghadapi setiap ujian hidup, dan berkah
dalam setiap rezeki. Semoga Allah selalu menguatkanmu untuk jadi istri dan ibu
yang lebih baik dari sebelumnya. #peluk sayang…
Jum’at sore, adik yang lain pasang status sedang sedih
karena harus antri panjang untuk beli bensin, telat antar anak latihan
taekwondo, dan tetap harus menjalankan peran istri dari seorang pengusaha yang
sedang berjuang untuk disebut “cukup kaya”. Saya membalas statusnya,
menyampaikan nasehat kesabaran. Berharap nasehat itu kembali pada diri sendiri.
Status balasan itu kemudian berekor pada cerita panjang.
Beberapa hari lalu, pegawainya yang jadi sopir tidak sengaja melindas kaki
temannya yang juga kernet, dan kemudian temannya itu meninggal. Bukan meninggal
di tempat, tapi akibat kurang sigapnya perawatan di rumah sakit setelah
kejadian. Beruntung, orang tua korban paham pada kondisi dan tidak menuntut secara
hukum.
Bagaimanapun, santunan sepantasnya tetap wajib diberikan
kepada keluarga yang ditinggalkan. Kejadian ini sesungguhnya bukan yang
pertama, karena bulan kemarin kakaknya yang tinggal beda pulau mengalami
kecelakaan, tidak sengaja menabrak orang dan yang ditabrak meninggal. Keluarga
korban menuntut ganti rugi motor baru, tunjangan untuk 4 anak korban yang
ditinggalkan, dan pengurusan jasa raharja sampai cair.
Selesai urusan yang menghabiskan puluhan juta itu, musibah
lain datang dari pegawainya sendiri. Saya langsung membayangkan seandainya ada
di posisi dia sebagai istri pengusaha yang karyawannya mengalami kejadian
tragis begitu, mungkin tidak sanggup. Juga sebagai seorang anak yang harus
menanggung kehidupan keluarga besarnya.
Ujian Sesuai Batas Kesanggupan Masing-Masing
Seringkali kita merasa ujian yang harus kita hadapi adalah
yang paling berat. Sehingga jika ujian itu digantikan orang lain, tidak akan
sanggup. Hal ini sesungguhnya benar, karena berlaku juga sebaliknya. Ujian yang
orang lain hadapi, tidak akan sanggup kita pikul. Karena memang sifat ujian itu
menyesuaikan dengan penerimanya.
Semakin berat ujian, semakin tinggi level kesulitan yang
harus dihadapi. Hukum alam berlaku universal, sehingga kita tidak bisa memilih
ujian apa yang harus kita hadapi saat ini. Ujian hampir selalu datang pada
titik lemah kita sebagai manusia.
Saat kita lemah dalam mengatur keuangan, maka ujiannya
adalah tentang bagaimana mengatur keuangan. Saat kita lemah dalam mengelola
perasaan, maka ujian yang hadir adalah agar kita mampu mengatur perasaan
sehingga tidak menjadikan orang lain sebagai korban. Saat kita tidak mampu
menolak sesuatu, maka jangan heran dihadapkan pada pilihan yang sulit diterima.
Baik, sekarang saatnya menerima bahwa status jomlo belum
akan berganti dalam hitungan hari. Tidak mengapa, karena sungguh, saya ingin
merasa ridha dengan kesulitan dan kebahagiaan yang Allah tetapkan. Saya ingin
termasuk dalam orang yang sabar, saya ingin terus berharap padaNya. Lewat doa,
sikap, ucap, dan setiap laku dalam hidup.
No comments:
Post a Comment