Pengangguran, adalah predikat yang cukup menjengkelkan ketika melekat pada diri sendiri. Padahal ya pilihan itu diambil sendiri, tidak ada yang menyuruh atau memaksa berhenti bekerja. Apalagi sebenarnya saat tahun ajaran baru dimulai dan aku memutuskan resign, itu ditelpon 3 kali disuruh balik. Rasanya pengen nangis, tapi hati kecilku melarang pergi.
Ibu sempat kasihan kalau aku di rumah menganggur. Sementara aku
tidak mau menyerah atau pasrah. Boleh di rumah, tapi tetap harus produktif. Karena
aku yakin, bahwa rezeki tidak akan tertukar, salah alamat, atau datang terlambat.
Hisupku sudah dijaminNya akan cukup dimanapun berada.
Writerpreneur atau Enterpreneur?
Karena sudah bebas dari pekerjaan rutin dan tanggung jawab
kepada atasan, waktuku otomatis lebih longgar. Pagi bebersih rumah yang
seukuran aula ditambah pekarangan keliling dari depan dan samping, membantu
mengurus ayam, menyiapkan makanan untuk bertiga, siang dikit otomatis capek.
Mau istirahat, rebahan, terhalang oleh isi kepala yang terus
berteriak nyaring, “Harus ngapain ini biar dapat duit? Pulsa butuh dibeli,
paketan internet harus isi terus, belum kalau pengen jajan, mau belikan sesuatu
dan bantu penuhi kebutuhan sehari-hari. Mau sampai kapan nganggur?”
Tahun 2020, satu buku berjudul “Menuju Rumah Tanpa Riba”
berhasil kutulis dan terbit. Sebelum itu, salah satu teman kuliah S1 yang sudah
jadi dosen di Jogja memintaku menjadi asistennya selama satu semester. Beliau harus
mengurus akreditasi dan setelah itu cuti melahirkan.
Aku sempat ingin memetakan profesi saat itu, mau focus jadi
writerpreneur atau entrepreneur? Kalau ingin menghasilkan uang lewat tulisan,
jangan berpikir membuka usaha atau semacamnya. Focus perbaiki kualitas tulisan,
banyak baca, peka pada apapun biar bisa jadi bahan tulisan.
Kalau mau jadi pengusaha, siapkan baik-baik produk apa yang
ingin dibuat dan dipasarkan. Pikirkan bagaimana memasarkannya, menggunakan
media sosial dan membuat orang percaya bahwa produk itu benar-benar bagus dan
layak dipasarkan.
Pada akhirnya, jiwa serakah mengantarku untuk menginginkan
keduanya. Di satu sisi aku belajar menjadi content writer, di sisi lain aku
membuat produk herbal yang awalnya kuberi nama Herb House, kemudian kuganti
dengan Herb Homemade. Nama pertama lebih mencerminkan tempat, sementara yang
kedua lebih mencerminkan produk.
Produk Herb Homemade
Aku memproduksi jahe instan, kunyit instan, temulawak instan,
lalu dikemas dengan ukuran 100 gr dan 200-250 gr. Produk ini memudahkan orang
yang ingin mengonsumsi rimpang tanpa harus ribet mencari bahan dan memasak. Aku
mengubah bentuk dari rimpang menjadi bubuk kering yang bisa diseduh untuk
konsumsi sewaktu-waktu.
Bahan dasarnya hanya dua macam, yaitu rimpang asli dan gula
pasir. Setelah dibersihkan dan ambil sarinya, aku memasak kedua bahan itu
hingga mengental dan berubah bentuk jadi bubuk. Setelah itu biarkan dingin
sebentar dan langsung dikemas. Hasil produk ini sudah berhasil mencapai beberapa
kota di Sumatera, Jakarta dan sekitarnya, Kalimantan, dan Pulau Jawa sendiri.
Produk jahe instan |
Konsumennya beragam, ada yang memang kukenal dan percaya aku
tidak menambahkan bahan lain, ada juga yang sama sekali tidak kukenal namun
percaya bahwa produk tersebut bagus. Akus endiri, untuk produk instan ini masih
ingin menyingkirkan gula pasir sebagai bahan utama.
Bukan karena kualitas gula pasirnya, kalau itu aku biasa
menggunakan yang kemasan, jadi bersih dan insya Allah aman. Masalahnya adalah
gula pasir itu sendiri pemicu diabetes. Mau ganti bahan sampai sekarang belum
tahu apa yang bisa membantu perubahan bentuk dari cair ke bubuk? Karena gula
pasir itulah yang membuat sari rimpang menjadi bubuk.
Pengemasan wedang uwuh |
Wedang Uwuh Herb Homemade
Kegalauanku tidak mengurangi produksi sesuai pesanan. Sementara
adik yang sedang studi di Jogja menawarkan produksi komoditas baru: Wedang
Uwuh. Racikan beberapa jenis rempah yang merupakan hidangan khas bangsawan
keraton zaman dulu. Adik bagian belanja bahan di Pasar Beringharjo, dan aku
mengemas di rumah kemudian memasarkannya.
Misi ini berjalan lancar. Bahkan Om yang punya toko retail di
Ngoro ikut memasarkan. Pelanggannya bilang, wedang uwuh hasil racikan kami khas
dan lebih enak dari yang lain. Beda bahan, tentu beda rasa. Beda ukuran
racikan, beda pula cita rasa yang dihasilkan.
Sampai setahun kemudian usaha ini cukup memberikan
penghidupan bagi kami. Minimal, aku tidak hanya hidup menumpang di rumah, meskipun
belum sepenuhnya kebutuhan hidup kupenuhi dari hasil usahaku sendiri. Peran orang
tua untuk mendukungku tentu lebih besar.
Berangkat dari modal yang tidak seberapa, memang aku tidak bersungguh-sungguh
membesarkan usaha ini. Selain keterbatasan modal, aku berpikir tidak akan
selamanya tinggal di rumah. Jadi cukuplah usaha ini sebagai sampingan yang
cukup menjanjikan selama aku masih bisa memenuhi pesanan.
Bersamaan dengan usaha ini, tahun 2020 aku mengikuti seleksi
CPNS dengan memilih Kemenag sebagai instansi dan UIN Malang sebagai satuan kerja.
Hasilnya sampai bulan Agustus 2020 namaku bertahan di daftar peserta SKB. Satu tahap
lagi, maka aku bisa mewujudkan cita-cita sebagai dosen.
Mimpi Jadi Dosen CPNS Kembali Tertunda
Hei, bukankah Allah adalah sebaik-baik pemilik rencana? Maka tidak
ada yang salah dalam setiap ketetapanNya. Aku ingat betul, sehari sebelum Senin,
jadwalku harus mengikuti ujian tahap SKB di pertengahan Agustus tahun itu, Om
yang di Jakarta meninggal. Adik ibu yang menyayangiku seperti adiknya sendiri
telah dipanggilNya.
Ibu sangat berduka. Aku kacau, ujian rasanya seperti hanya
menggugurkan kewajiban. Tidak ada semangat kompetisi sama sekali. Apalagi akhir
Juli bulan sebelumnya, aku dan ibu positif Covid dan harus isolasi di rumah. Kami
beruntung karena tidak harus menjalani perawatan medis di rumah sakit.
Adik ibu meninggal di rumahnya, bukan karena Covid, tapi
karena diabetes yang sudah menggerogoti tubuhnya beberapa tahun terakhir. Beberapa
hari sebelum pergi, sempat menelepon ibu dan suaranya sudah banyak berubah. Mereka
sudah saling memaafkan, tapi tidak mengurangi rasa kehilangan.
Aku tahu pasti di hari ujian SKB saat itu, bahwa
keikutsertaanku ujian adalah penegas cita-citaku belum saatnya dikabulkan. Aku tidak
menyesal karena tidak bisa melakukan yang terbaik saat ujian, toh yang terpilih
akhirnya memang insya Allah lebih baik dari aku.
Gagal di ujian seleksi CPNS dosen tahun itu membuatku tenang,
karena itu berarti masih ada waktu untuk mendampingi ibu yang entah sampai
kapan merasakan duka. Sepertinya akan panjang, karena adik satu-satunya yang
paling disayangi telah benar-benar pergi. Ibu bilang, kehilangan adik rasanya
lebih sakit dari kehilangan orang tua.
Mungkin karena ibu merawat orang tuanya ketika sakit, sampai nenek
meninggal. Tapi ketika adiknya sakit, seperti tidak punya kesempatan membantu
dan mengusahakan yang terbaik saat itu. Takdir menggariskan dua adik sepupuku
ditinggal ayahnya lebih cepat.
Satu anak Om sudah selesai kuliah S1 saat papanya pergi. Sementara
adik perempuannya baru lulus SD. Adik perempuan inilah yang akhirnya ingin
selalu kujaga sebagai adikku sendiri, sampai nanti benar-benar mandiri insya Allah.
Tidak kupikirkan lagi soal bagaimana hasil seleksi CPNS tahun
itu. Seminggu setelah ujianku kami ke Jakarta untuk takziyah. Sebentar saja, sore
langsung bertolak pulang. Sungguh, perjalanan ke ibukota saat pandemi benar-benar
tidak leluasa dan serba terbatas.
Pulang, kesibukanku kembali seperti sebelumnya. Tetap belajar
menulis, melanjutkan usaha, dan mencari kesempatan menjadi dosen. Belajar dari
pengalaman teman-teman yang lebih dahulu jadi dosen, aku jadi tahu, untuk
menjadi dosen sebaiknya pilih tempat yang tepat. Jangan salah pilih tempat
karena akan sulit urusannya ketika ingin pindah.
Aku bukan anak rektor, bukan pula anak pejabat. Jadi kalau mau mengajar di perguruan tinggi, harus mengandalkan kekuatan yang lebih besar: doa dan usaha. Tidak bisa asal tunjuk ingin mengajar disitu kemudian terwujud. Ikut seleksi dulu, tes, wawancara, kunjungi tempatnya, baru nanti semoga akhirnya dapat tempat terbaik versiNya.
Akhirnya, sampai di titik ini ceritanya. Di post berikutnya akan kuceritakan bagian pendaftaran seleksi CPNS hingga akhirnya lulus di sini. Tulisan tentang itu mungkin agak panjang, semoga tetap bermanfaat setelah membacanya nanti ya.
No comments:
Post a Comment