Saturday, 13 August 2022

Perjalananku Sebelum Seleksi CPNS Dosen

 

my-life-my-journey

Catatan ini adalah rekaman perjalananku dalam bentuk tulisan. Media yang menurutku jauh lebih nyaman untuk dipakai mengabadikan sejarah, daripada rekaman suara atau video. Ya, mungkin karena aku bukan type manusia yang suka dengan partisipasi khalayak ramai. Meskipun pasti, sebagai manusia biasa aku butuh eksistensi, termasuk keikutsertaanku dalam seleksi CPNS 2021 lalu.

Bulan Agustus 2022, catatan ini mulai kuabadikan, sebelum semua kenangan semakin memudar kemudian hilang ditelan zaman. Pun jika sekarang belum tampak ada manfaatnya, semoga suatu saat nanti setidaknya catatan ini bisa jadi pengingat. Terutama tentang apa alasanku meniti jalan ini, bagaimana perjuangan yang harus kujalani, dan apa yang harus kujaga sebagai tujuan hingga Langkah terakhir nanti di dunia ini.

Aku Dari Masa ke Masa

Apapun yang terjadi nanti, aku harus selalu ingat bahwa lahir di tengah keluarga ibu yang sangat sederhana adalah anugerah. Berada di lingkungan yang sangat menyayangiku tanpa syarat adalah sebuah keajaiban. Ya, aku lahir tanpa tuntutan suatu hari nanti harus jadi apa. Tidak harus sukses dengan jabatan dan jumlah harta yang fantastis. Tidak.

Aku tidak harus jadi ketua OSIS saat sekolah, selalu dapat rangkig di kelas, juara lomba, atau kenal dengan anak pejabat di lingkungan pergaulan. Mereka mengantarku ke sekolah Aisyiyah selama TK, yang saat merupakan sekolah terbaik di lingkungan. Aku dibiarkan masuk SD Negeri terdekat saat di Jakarta, dan masuk MI Muhammadiyah terdekat dengan rumah saat di Jombang. Tidak ada satupun rencana yang menyebut suatu saat aku harus lulus seleksi CPNS.

Keluarga ayah dan ibu bukan status oriented. Penting bagi mereka tahu bahwa aku mengusahakan yang terbaik maka selesai urusan. Penting sekolah bener, pergaulan bener, sisanya bukanlah masalah. Mau dapat prestasi alhamdulillah, nggak juga nggak perlu ada acara marah.

Aku merasakan benar bahwa lahir dan tumbuh di Gunung Kidul, kabupaten yang jauh dari keramaian dunia adalah caraNya untuk menjadikanku manusia yang utuh. Aku mengenal terjalnya jalanan tanpa aspal, naik turun pegunungan, dan tidak mengenal sosok ayah sampai usiaku menjelang 3 tahun. Karena ayah kerja jauh dari rumah dan sangat jarang pulang saat itu.

Masuk SD, ibu mengajakku pindah ke Jakarta, membersamai ayah yang bekerja di sana. Hanya setahun setelahnya, adik ayah memaksa kami pulang ke Jombang, sehingga kehidupan baru Kembali harus kumulai. Lingkungan yang asing seolah menyergapku, memaksaku menuliskan angka terbaik di buku prestasi. Aku dianggap pintar, dan memang seharusnya begitu pun seandainya tanpa tuntutan.

Sampai lulus sekolah dasar, masuk SMP, lanjut SMA nilau raportku selalu mampu memukau ibu dan para guru. Jangan heran, akhirnya aku lulus SMA pun dengan nilai ujian akhir tertinggi. Bukan murni atas usahaku memang, karena sesungguhnya aku tidak benar-benar rajin belajar. Aku hanya rajin berdoa dan minta ibu untuk selalu mendoakanku. Terlepas dari perolehan nilai atas bantuan teman saat ujian, kuanggap itu adalah bagian dari keberuntungan.

Remaja Tanpa Cita-Cita

Lulus SMA, aku sempat bingung harus melanjutkan ke mana. Jelas, aku ingin kuliah, tapi sadar juga, apa orang tuaku akan mampu mendukungku untuk itu? Sementara dua kali ikut seleksi perguruan tinggi (universitas negeri dan sekolah kedinasan) tidak lulus. Sampai di sini, aku jadi remaja tanpa cita-cita. Apapun yang harus terjadi, maka terjadilah, pikirku.

Nasib membawaku menapaki masa kuliah dengan beasiswa di STEI Hamfara. Lumayan, sekolah S1 Cuma butuh bayar biaya hidup aja. Asal bisa selesai 4 tahun atau kurang. Kalau memilih tidak lulus harus bayar denda, kalau lulus lewat 4 tahun biaya pendidikan tanggung sendiri. Daripada bayar, aku memilih rajin belajar dan bertekad ujian skripsi di akhir semester 7.

Selesai kuliah, ibu memintaku pulang. Sebuah pilihan yang sempat kusesali karena seharusnya aku bisa memilih tinggal di asrama sebagai pembina, lalu berkesempatan melanjutkan ke jenjang magister dengan beasiswa. Sementara dengan pulang, pekerjaanku menjadi tidak jelas, banyak tawaran tapi bingung harus pilih yang mana. Perasaanku bilang saat itu, semua pilihan itu tidak ada yang enak dijalani. Semua berat, bikin capek, dan tidak membangun masa depan.

seleksi-cpns-2021


Nasib Seperti Air Mengalir

Rasanya aku sadar sudah menjadi orang yang kufur nikmat saat itu. Bukannya bersyukur, malah sibuk merutuk pada diri sendiri. Padahal pekerjaan ada dan dihormati orang, meskipun penghasilan tidak bisa dibilang banyak. Rasa Lelah akibat kegiatan sehari-hari dan kurangnya rasa syukur itu menyiksaku sampai sakit.

Ibu tidak tega melihatku sakit semakin parah dari waktu ke waktu. Jika kambuh, jelas kutangkap kekhawatiran di wajahnya, kalau-kalau tiba saatnya harus mengantar pulang putri satu-satunya kepada pemiliknya. Sementara aku terima rasa sakit itu dengan sepenuh kesadaran, bahwa ada jalan keluar yang harus diusahakan.

Apakah rasa sakit ini ada hubungannya dengan seleksi CPNS? Secara langsung mungkin tidak, tapi bisa jadi peristiwa tersebut merupakan salah satu alasanku harus memperbanyak syukur bisa sampai di titik ini. Pekerjaan setelah lulus S1 yang kujalani selama lebih dari 3 tahun itu mengantarku menempuh studi magister, yang cerita lengkapnya kutulis post berikutnya insya Allah.

No comments:

Post a Comment