Catatan ini adalah rekaman perjalananku dalam bentuk tulisan. Media yang menurutku jauh lebih nyaman untuk dipakai mengabadikan sejarah, daripada rekaman suara atau video. Ya, mungkin karena aku bukan type manusia yang suka dengan partisipasi khalayak ramai. Meskipun pasti, sebagai manusia biasa aku butuh eksistensi, termasuk keikutsertaanku dalam seleksi CPNS 2021 lalu.
Bulan Agustus 2022, catatan ini mulai kuabadikan, sebelum
semua kenangan semakin memudar kemudian hilang ditelan zaman. Pun jika sekarang
belum tampak ada manfaatnya, semoga suatu saat nanti setidaknya catatan ini
bisa jadi pengingat. Terutama tentang apa alasanku meniti jalan ini, bagaimana
perjuangan yang harus kujalani, dan apa yang harus kujaga sebagai tujuan hingga
Langkah terakhir nanti di dunia ini.
Aku Dari Masa ke Masa
Apapun yang terjadi nanti, aku harus selalu ingat bahwa lahir
di tengah keluarga ibu yang sangat sederhana adalah anugerah. Berada di
lingkungan yang sangat menyayangiku tanpa syarat adalah sebuah keajaiban. Ya,
aku lahir tanpa tuntutan suatu hari nanti harus jadi apa. Tidak harus sukses
dengan jabatan dan jumlah harta yang fantastis. Tidak.
Aku tidak harus jadi ketua OSIS saat sekolah, selalu dapat
rangkig di kelas, juara lomba, atau kenal dengan anak pejabat di lingkungan
pergaulan. Mereka mengantarku ke sekolah Aisyiyah selama TK, yang saat
merupakan sekolah terbaik di lingkungan. Aku dibiarkan masuk SD Negeri terdekat
saat di Jakarta, dan masuk MI Muhammadiyah terdekat dengan rumah saat di
Jombang. Tidak ada satupun rencana yang menyebut suatu saat aku harus lulus
seleksi CPNS.
Keluarga ayah dan ibu bukan status oriented. Penting bagi
mereka tahu bahwa aku mengusahakan yang terbaik maka selesai urusan. Penting
sekolah bener, pergaulan bener, sisanya bukanlah masalah. Mau dapat prestasi
alhamdulillah, nggak juga nggak perlu ada acara marah.
Aku merasakan benar bahwa lahir dan tumbuh di Gunung Kidul,
kabupaten yang jauh dari keramaian dunia adalah caraNya untuk menjadikanku
manusia yang utuh. Aku mengenal terjalnya jalanan tanpa aspal, naik turun
pegunungan, dan tidak mengenal sosok ayah sampai usiaku menjelang 3 tahun.
Karena ayah kerja jauh dari rumah dan sangat jarang pulang saat itu.
Masuk SD, ibu mengajakku pindah ke Jakarta, membersamai ayah
yang bekerja di sana. Hanya setahun setelahnya, adik ayah memaksa kami pulang
ke Jombang, sehingga kehidupan baru Kembali harus kumulai. Lingkungan yang
asing seolah menyergapku, memaksaku menuliskan angka terbaik di buku prestasi.
Aku dianggap pintar, dan memang seharusnya begitu pun seandainya tanpa
tuntutan.
Sampai lulus sekolah dasar, masuk SMP, lanjut SMA nilau
raportku selalu mampu memukau ibu dan para guru. Jangan heran, akhirnya aku
lulus SMA pun dengan nilai ujian akhir tertinggi. Bukan murni atas usahaku
memang, karena sesungguhnya aku tidak benar-benar rajin belajar. Aku hanya
rajin berdoa dan minta ibu untuk selalu mendoakanku. Terlepas dari perolehan
nilai atas bantuan teman saat ujian, kuanggap itu adalah bagian dari keberuntungan.
Remaja Tanpa Cita-Cita
Lulus SMA, aku sempat bingung harus melanjutkan ke mana.
Jelas, aku ingin kuliah, tapi sadar juga, apa orang tuaku akan mampu
mendukungku untuk itu? Sementara dua kali ikut seleksi perguruan tinggi (universitas
negeri dan sekolah kedinasan) tidak lulus. Sampai di sini, aku jadi remaja
tanpa cita-cita. Apapun yang harus terjadi, maka terjadilah, pikirku.
Nasib membawaku menapaki masa kuliah dengan beasiswa di STEI
Hamfara. Lumayan, sekolah S1 Cuma butuh bayar biaya hidup aja. Asal bisa
selesai 4 tahun atau kurang. Kalau memilih tidak lulus harus bayar denda, kalau
lulus lewat 4 tahun biaya pendidikan tanggung sendiri. Daripada bayar, aku
memilih rajin belajar dan bertekad ujian skripsi di akhir semester 7.
Selesai kuliah, ibu memintaku pulang. Sebuah pilihan yang
sempat kusesali karena seharusnya aku bisa memilih tinggal di asrama sebagai
pembina, lalu berkesempatan melanjutkan ke jenjang magister dengan beasiswa.
Sementara dengan pulang, pekerjaanku menjadi tidak jelas, banyak tawaran tapi
bingung harus pilih yang mana. Perasaanku bilang saat itu, semua pilihan itu
tidak ada yang enak dijalani. Semua berat, bikin capek, dan tidak membangun
masa depan.
Nasib Seperti Air Mengalir
Rasanya aku sadar sudah menjadi orang yang kufur nikmat saat
itu. Bukannya bersyukur, malah sibuk merutuk pada diri sendiri. Padahal
pekerjaan ada dan dihormati orang, meskipun penghasilan tidak bisa dibilang
banyak. Rasa Lelah akibat kegiatan sehari-hari dan kurangnya rasa syukur itu
menyiksaku sampai sakit.
Ibu tidak tega melihatku sakit semakin parah dari waktu ke
waktu. Jika kambuh, jelas kutangkap kekhawatiran di wajahnya, kalau-kalau tiba
saatnya harus mengantar pulang putri satu-satunya kepada pemiliknya. Sementara
aku terima rasa sakit itu dengan sepenuh kesadaran, bahwa ada jalan keluar yang
harus diusahakan.
Apakah rasa sakit ini ada hubungannya dengan seleksi CPNS?
Secara langsung mungkin tidak, tapi bisa jadi peristiwa tersebut merupakan
salah satu alasanku harus memperbanyak syukur bisa sampai di titik ini. Pekerjaan
setelah lulus S1 yang kujalani selama lebih dari 3 tahun itu mengantarku
menempuh studi magister, yang cerita lengkapnya kutulis post berikutnya insya
Allah.
No comments:
Post a Comment