Saturday, 13 August 2022

Kuliahku S2 Bukan Untuk Seleksi CPNS

  


Saat orang-orang melanjutkan pendidikan ke jenjang magister karena ingin jadi dosen atau lulus seleksi CPNS, aku sama sekali tidak berpikir begitu. Tidak juga untuk menambah gelar, apalagi demi mendapat pekerjaan yang lebih layak. Aku sepenuhnya sadar, fitrah sebagai wanita tidak akan mengubah kenyataan bahwa prestasi terbaikku adalah kelak ketika berhasil menjadi ibu yang mengantar anak-anak menjadi manusia sholeh dan sholihah.

Bukankah ibu yang berpendidikan jauh lebih baik bagi anak daripada ibu yang hanya tahu bagaimana membaca dan menulis? Bukankah ibu yang pengetahuannya luas jauh lebih baik dari ibu yang berpikiran sempit saat mendidik anak-anaknya? Bukankah dunia dan masa depan butuh ibu yang tahu bagaimana harus menyikapi zaman?

Learning to Healing

Kuliah S2 adalah alasanku agar bisa resign dari pekerjaan sebelumnya di sebuah sekolah dasar berbasis IT. Karena bagiku, niat mengajar harus didominasi oleh pengabdian. Bukan bayaran, pangkat atau jabatan, apalagi sekadar pekerjaan. Awalnya kuterima tawaran mengajar di sekolah itu agar pekerjaanku dekat dengan rumah. Siapa tahu, nasib ketemu jodoh di sana, kan?

Setahun semua berjalan baik, tahun kedua rasanya waktuku tersita penuh di sana. Tahun ketiga, rasa sakit yang semakin sering kambuh cukup menggangguku. Aku berusaha menggali penyebab sakit itu, apakah murni karena pola hidupku yang salah, atau ada sebab lain?

Aku tidak percaya dukun, tentu saja. Sebab lain sakit bisa jadi adalah kondisi mentalku. Seperti bom waktu yang berkumpul sejak kecil, karena sering mendapat asupan energi negative perlahan berdetak dan siap meledak sewaktu-waktu. Saat itu terjadi, jantungku berdetak kencang, keringat dingin, isi perut keluar semua, lemas. Aku tidak punya tenaga antara 2 jam sampai pernah paling lama 10 jam.

Setelahnya, seolah semua baik-baik saja. Seolah jantungku tidak pernah berdetak sekencang itu hingga seakan ingin melompat lepas dari rongga dada. Meskipun lemas, aku bisa melakukan aktivitas seperti biasa, hanya tidak kuat melakukan pekerjaan berat. Tekanan darahku pernah tidak terbaca saat kondisiku kolaps begitu, saking lemahnya.

Ke dokter? Bidan desa mengatakan aku hanya kecapekan. Diberinya vitamin dan asupan zat besi saat aku periksa sesaat setelah ledakan dalam diriku itu terjadi. Aku tidak punya cukup nyali untuk periksa di dokter spesialis sampai beberapa tahun kemudian.  Aku hanya merasa, pindah lingkungan hidup rasanya bisa menjadi solusi terbaik untuk semua.

Pulang ke Tanah Kelahiran

Pilihan terbaiknya adalah pulang ke tanah kelahiran. Untuk itu, aku butuh alasan agar bisa tinggal agak lama sampai benar-benar merasa “hidup” dengan hidupku sendiri. Selama ini aku tidak bisa menata diri, menentukan langkah dan memilih untuk masa depan. Semua berjalan begitu saja, mengalir seperti garis nasib yang tidak butuh banyak perjuangan.

Lanjut menempuh magister memberiku alasan untuk resign tanpa drama. Mereka tidak mungkin menghalangiku melanjutkan pendidikan, alih-alih menahan dengan sodoran CV perjodohan. Di rumah, nenek tidak bisa menghalangiku karena orang tua dan Om mendukungku. Sementara aku sendiri merasa seperi benar-benar “pulang” saat menginjak tanah kelahiran.

Aku percaya, tanah kelahiran punya semacam ikatan tersendiri dengan tubuh manusia. Membuatnya merasa menjadi tempat yang nyaman, disamping memang orang-orang sekitarnya menciptakan suasana demikian. Sampai sekarang pun, tempat paling nyaman bagiku adalah di tanah kelahiran.  

quote-perjalanan


Studi Magister: Kesempatan Mengenali Potensi Diri

Sejarah hidupku di seperampat abad pertama mencatat bahwa sahabat terbaik pernah kutemui saat SMA. Tidak sebelum atau setelahnya. Sampai akhirnya saat masuk kelas magister, bertemu dengan orang-orang hebat dengan semangat belajar tinggi. Aku merasa berada di lingkungan yang tepat.

Satu sisi rencanaku melanjutkan studi untuk memperdalam ekonomi Islam termotivasi dengan semangat mereka. Di sisi lain, ternyata mereka adalah partner jalan-jalan yang asik. Setiap kali ada kesmpatan lepas dari tugas, kami Bersama-sama mengunjungi objek wisata di Jogja. Candi, pantai, bukit, pusat belanja, tanpa harus merogoh kocek dalam kecuali isi bensin.

Sampai disini, aku hanya fokus belajar, menyelesikan tugas, memperkaya wawasan dengan bacaan, dan mulai menulis. Perjalananku menulis, bergabung dengan komunitas, dimulai di sini. Menikmati hidup agar berjalan hanya sesuai yang kuinginkan ternyata bisa diusahakan. Selama ini rasanya hanya aku yang harus menuruti apa maunya hidup ini, bukan sebaliknya.

Aku belajar menguasai hidupku sendiri, bukan sebaliknya. Orang mungkin berpikir aku terlambat, kenapa baru sekarang? Lalu bertahun-tahun yang lalu, apa yang kulakukan? Entahlah. Sulit menemukan jawaban pertanyaan itu. Aku tidak bisa dan tidak ingin menyalahkan siapapun di masa lalu.

Mungkin orang-orang yang mengenalku selama ini tidak menyangka bahwa ada “sesuatu” terjadi pada diriku. Mereka hanya tahu aku baik-baik saja, sudah siap menikah, melanjutkan fase hidup. Orang lain memang tidak memiliki kewajiban memahami diri kita, kan?

Di titik inilah aku mulai sepenuhnya sadar, bahwa setiap pilihan ada konsekuensi yang harus siap kuhadapi. Kita tidak perlu memastikan diri harus menjadi apa di masa depan. Karena hal terpenting adalah lakukan saja usaha terbaik, doa terbaik, selebihnya serahkan pada pemilik semesta.

Ibu Ingin Aku Jadi Dosen

Sejak SMP, memang aku sudah belajar mengajar. Guru ekstrakurikuler kepanduan (sekarang alm) sering mengajakku membina siswa SD/MI di daerah lain. SMA pun begitu, aku belajar mengajar dari kakak tingkat yang jadi pembina.

Lulus kuliah pertama, pekerjaan yang kudapat tidak jauh dari dunia pendidikan. Baik di Jakarta, maupun saat kembali tinggal bersama orang tua. Setelah aku kuliah magister inilah, ibu memintaku menjadi dosen. Profesi yang belum pernah tercatat dalam daftar cita-citaku. “Insya Allah,” jawabku tanpa piker panjang. Soal bagaimana nanti biarlah nasib yang menjawabnya.

Aku hanya memasukkan kata dosen dalam daftar cita-citaku selanjutnya. Membawanya dalam doa, dan tidak ada yang sulit sampai sini. Soal realisasi, aku belum merencanakan langkah sama sekali. Bahkan sampai selesai studi S2 pun, aku belum memetakan langkah berikutnya harus bagaimana.

Bukan Dosen, Tapi Guru Al Qur’an

Suatu hari setelah hampir sebulan pulang, aku mulai mencari lowongan dosen. Bukan kebetulan kalau di Jombang tidak ada perguruan tinggi negeri Islam. Adanya perguruan tinggi Islam swasta yang punya jurusan sesuai bidang studiku. Mereka sedang buka lowongan, tepat seperti rencanaku.

Sementara di ruang percakapan lain, lowongan sebagai guru Al Qur’an di Jakarta dating. Jelas ini butuh seleksi, tempat tinggal dan lingkungan baru, dan tentu budget untuk modal hidup di awal.  Aku kembali pada ibu, menanyakan kecenderungan pilihannya. Apalagi karena beliau lah yang selama ini ingin anaknya jadi dosen.

Antara dosen dan guru Al Qur’an, mana yang ibu pilih? Pasti banyak yang mengira ibu memilih aku melamar sebagai dosen di perguruan tinggi ini, tapi ternyata tidak. Ibu lebih merasa lega jika aku memilih untuk melamar sebagai guru Al Qur’an di Jakarta. Aneh, ya? Saat cita-cita terwujud di depan mata, malah yakin dengan pilihan lainnya.

Tenang, ini masih belum jadi bagian akhir dari perjalananku mengikuti seleksi CPNS 2021 lalu. Masih ada beberapa postingan lagi sampai di bagian itu. Bagian pengalaman menjadi guru Al Qur’an di Jakarta ini rasanya perlu menjadi satu sesi postingan tersendiri. Semoga kesampaian di postingan berikutnya, ya.

No comments:

Post a Comment