Saat orang-orang melanjutkan pendidikan ke jenjang magister karena ingin jadi dosen atau lulus seleksi CPNS, aku sama sekali tidak berpikir begitu. Tidak juga untuk menambah gelar, apalagi demi mendapat pekerjaan yang lebih layak. Aku sepenuhnya sadar, fitrah sebagai wanita tidak akan mengubah kenyataan bahwa prestasi terbaikku adalah kelak ketika berhasil menjadi ibu yang mengantar anak-anak menjadi manusia sholeh dan sholihah.
Bukankah ibu yang berpendidikan jauh lebih baik bagi anak
daripada ibu yang hanya tahu bagaimana membaca dan menulis? Bukankah ibu yang
pengetahuannya luas jauh lebih baik dari ibu yang berpikiran sempit saat
mendidik anak-anaknya? Bukankah dunia dan masa depan butuh ibu yang tahu
bagaimana harus menyikapi zaman?
Learning to Healing
Kuliah S2 adalah alasanku agar bisa resign dari pekerjaan
sebelumnya di sebuah sekolah dasar berbasis IT. Karena bagiku, niat mengajar
harus didominasi oleh pengabdian. Bukan bayaran, pangkat atau jabatan, apalagi
sekadar pekerjaan. Awalnya kuterima tawaran mengajar di sekolah itu agar
pekerjaanku dekat dengan rumah. Siapa tahu, nasib ketemu jodoh di sana, kan?
Setahun semua berjalan baik, tahun kedua rasanya waktuku
tersita penuh di sana. Tahun ketiga, rasa sakit yang semakin sering kambuh
cukup menggangguku. Aku berusaha menggali penyebab sakit itu, apakah murni
karena pola hidupku yang salah, atau ada sebab lain?
Aku tidak percaya dukun, tentu saja. Sebab lain sakit bisa
jadi adalah kondisi mentalku. Seperti bom waktu yang berkumpul sejak kecil,
karena sering mendapat asupan energi negative perlahan berdetak dan siap
meledak sewaktu-waktu. Saat itu terjadi, jantungku berdetak kencang, keringat
dingin, isi perut keluar semua, lemas. Aku tidak punya tenaga antara 2 jam
sampai pernah paling lama 10 jam.
Setelahnya, seolah semua baik-baik saja. Seolah jantungku tidak
pernah berdetak sekencang itu hingga seakan ingin melompat lepas dari rongga
dada. Meskipun lemas, aku bisa melakukan aktivitas seperti biasa, hanya tidak
kuat melakukan pekerjaan berat. Tekanan darahku pernah tidak terbaca saat
kondisiku kolaps begitu, saking lemahnya.
Ke dokter? Bidan desa mengatakan aku hanya kecapekan.
Diberinya vitamin dan asupan zat besi saat aku periksa sesaat setelah ledakan
dalam diriku itu terjadi. Aku tidak punya cukup nyali untuk periksa di dokter
spesialis sampai beberapa tahun kemudian.
Aku hanya merasa, pindah lingkungan hidup rasanya bisa menjadi solusi
terbaik untuk semua.
Pulang ke Tanah Kelahiran
Pilihan terbaiknya adalah pulang ke tanah kelahiran. Untuk
itu, aku butuh alasan agar bisa tinggal agak lama sampai benar-benar merasa
“hidup” dengan hidupku sendiri. Selama ini aku tidak bisa menata diri,
menentukan langkah dan memilih untuk masa depan. Semua berjalan begitu saja,
mengalir seperti garis nasib yang tidak butuh banyak perjuangan.
Lanjut menempuh magister memberiku alasan untuk resign tanpa
drama. Mereka tidak mungkin menghalangiku melanjutkan pendidikan, alih-alih
menahan dengan sodoran CV perjodohan. Di rumah, nenek tidak bisa menghalangiku
karena orang tua dan Om mendukungku. Sementara aku sendiri merasa seperi benar-benar
“pulang” saat menginjak tanah kelahiran.
Aku percaya, tanah kelahiran punya semacam ikatan tersendiri
dengan tubuh manusia. Membuatnya merasa menjadi tempat yang nyaman, disamping
memang orang-orang sekitarnya menciptakan suasana demikian. Sampai sekarang
pun, tempat paling nyaman bagiku adalah di tanah kelahiran.
Studi Magister: Kesempatan Mengenali Potensi Diri
Sejarah hidupku di seperampat abad pertama mencatat bahwa
sahabat terbaik pernah kutemui saat SMA. Tidak sebelum atau setelahnya. Sampai akhirnya
saat masuk kelas magister, bertemu dengan orang-orang hebat dengan semangat
belajar tinggi. Aku merasa berada di lingkungan yang tepat.
Satu sisi rencanaku melanjutkan studi untuk memperdalam
ekonomi Islam termotivasi dengan semangat mereka. Di sisi lain, ternyata mereka
adalah partner jalan-jalan yang asik. Setiap kali ada kesmpatan lepas dari
tugas, kami Bersama-sama mengunjungi objek wisata di Jogja. Candi, pantai,
bukit, pusat belanja, tanpa harus merogoh kocek dalam kecuali isi bensin.
Sampai disini, aku hanya fokus belajar, menyelesikan tugas,
memperkaya wawasan dengan bacaan, dan mulai menulis. Perjalananku menulis,
bergabung dengan komunitas, dimulai di sini. Menikmati hidup agar berjalan
hanya sesuai yang kuinginkan ternyata bisa diusahakan. Selama ini rasanya hanya
aku yang harus menuruti apa maunya hidup ini, bukan sebaliknya.
Aku belajar menguasai hidupku sendiri, bukan sebaliknya. Orang
mungkin berpikir aku terlambat, kenapa baru sekarang? Lalu bertahun-tahun yang
lalu, apa yang kulakukan? Entahlah. Sulit menemukan jawaban pertanyaan itu. Aku
tidak bisa dan tidak ingin menyalahkan siapapun di masa lalu.
Mungkin orang-orang yang mengenalku selama ini tidak
menyangka bahwa ada “sesuatu” terjadi pada diriku. Mereka hanya tahu aku baik-baik
saja, sudah siap menikah, melanjutkan fase hidup. Orang lain memang tidak
memiliki kewajiban memahami diri kita, kan?
Di titik inilah aku mulai sepenuhnya sadar, bahwa setiap
pilihan ada konsekuensi yang harus siap kuhadapi. Kita tidak perlu memastikan
diri harus menjadi apa di masa depan. Karena hal terpenting adalah lakukan saja
usaha terbaik, doa terbaik, selebihnya serahkan pada pemilik semesta.
Ibu Ingin Aku Jadi Dosen
Sejak SMP, memang aku sudah belajar mengajar. Guru ekstrakurikuler
kepanduan (sekarang alm) sering mengajakku membina siswa SD/MI di daerah lain. SMA pun begitu,
aku belajar mengajar dari kakak tingkat yang jadi pembina.
Lulus kuliah pertama, pekerjaan yang kudapat tidak jauh dari
dunia pendidikan. Baik di Jakarta, maupun saat kembali tinggal bersama orang tua.
Setelah aku kuliah magister inilah, ibu memintaku menjadi dosen. Profesi yang belum
pernah tercatat dalam daftar cita-citaku. “Insya Allah,” jawabku tanpa piker panjang.
Soal bagaimana nanti biarlah nasib yang menjawabnya.
Aku hanya memasukkan kata dosen dalam daftar cita-citaku
selanjutnya. Membawanya dalam doa, dan tidak ada yang sulit sampai sini. Soal realisasi,
aku belum merencanakan langkah sama sekali. Bahkan sampai selesai studi S2 pun,
aku belum memetakan langkah berikutnya harus bagaimana.
Bukan Dosen, Tapi Guru Al Qur’an
Suatu hari setelah hampir sebulan pulang, aku mulai mencari
lowongan dosen. Bukan kebetulan kalau di Jombang tidak ada perguruan tinggi
negeri Islam. Adanya perguruan tinggi Islam swasta yang punya jurusan sesuai
bidang studiku. Mereka sedang buka lowongan, tepat seperti rencanaku.
Sementara di ruang percakapan lain, lowongan sebagai guru Al
Qur’an di Jakarta dating. Jelas ini butuh seleksi, tempat tinggal dan
lingkungan baru, dan tentu budget untuk modal hidup di awal. Aku kembali pada ibu, menanyakan kecenderungan
pilihannya. Apalagi karena beliau lah yang selama ini ingin anaknya jadi dosen.
Antara dosen dan guru Al Qur’an, mana yang ibu pilih? Pasti banyak
yang mengira ibu memilih aku melamar sebagai dosen di perguruan tinggi ini, tapi
ternyata tidak. Ibu lebih merasa lega jika aku memilih untuk melamar sebagai
guru Al Qur’an di Jakarta. Aneh, ya? Saat cita-cita terwujud di depan mata,
malah yakin dengan pilihan lainnya.
Tenang, ini masih belum jadi bagian akhir dari perjalananku mengikuti
seleksi CPNS 2021 lalu. Masih ada beberapa postingan lagi sampai di bagian itu.
Bagian pengalaman menjadi guru Al Qur’an di Jakarta ini rasanya perlu menjadi
satu sesi postingan tersendiri. Semoga kesampaian di postingan berikutnya, ya.
No comments:
Post a Comment