Idealnya orang memiliki bekal sebelum merantau, yang minimal cukup untuk bertahan hidup hingga bisa hidup normal di tempat baru. Sebelum memutuskan menuruti pilihan ibu pada 2018, aku berhitung bahwa bekalku tidak akan cukup hingga bulan berikutnya jika menuruti pola hidup normal. Kebutuhan dasar hidup merantau adalah makan tiga kali sehari, sewa kos, bayar biaya transportasi umum.
Berapa kira-kira untuk hidup di Jakarta? Kos khusus perempuan
berkisar antara 800k-1jt minimal. Makan 3 kali sehari, berapa? Hitunglah
sekitar 50k sehari, maka 30 hari 1.5jt. versi irit nih, belum kalau pengen atau
butuh ngafe, ningkrong, nonton, dsb. Belum ongkos transportasi, yang kalau sekali
jalan Transjakarta 3500, ojek online tergantung pakai motor atau mobil, dan
berapa jaraknya.
Bekal Merantau: Berserah Diri Pada Pemilik Rencana
Aku memilih berangkat ke Jakarta karena ibu bilang,
“Yakinlah, jadi guru Al Qur’an itu nanti dicukupi sama Allah.” Sungguh di luar
logika rasanya jika bisa hidup di ibukota dengan bekal kurang dari 2 juta
rupiah untuk sebulan berikutnya.
Tanpa tahu akankah aku lulus seleksi? Berapa nanti gajinya?
Cukupkah, minimal untuk hidupku sendiri? Akankah ada jenjang karir untuk
pekerjaan ini? Bagaimana aku harus menata masa depanku? Sementara di luar sana
satu persatu teman seangkatan kuliah S2 diterima sebagai dosen di PTIN lewat
seleksi CPNS.
Setelah sampai di Jakarta, aku menumpang di kos saudara di
daerah Pejaten. Esoknya pergi ke sekolah dengan ojek online untuk seleksi.
Seminggu kemudian, aku sakit. Pulang dari sekolah maghrib, diantar teman dan
suaminya ke Pasar Rebo. Dalam kondisi lemas, pusing, tapi tidak punya cukup
nyali untuk memintanya mengantar ke UGD.
Sebuah catatan khusus untuk teman yang bersedia mengantarku
waktu itu bersama suaminya, Namanya Indah. Aku lupa nama lengkapnya (maaf lupa…),
anaknya Lubna. Saat itu beliau menjalankan usaha produksi dan jual baju Muslimah,
bercadar. Aku ingat wajahnya, suaranya, kebiasaannya memanggilku teteh, dan
kami sering saling bercerita setelah itu.
Bukan karena kami satu tempat bekerja, beliau ditugaskan di
MI, aku di SMA, sebelahan sih gedungnya. Beliau bertahan mengajar sekitar 3
bulan dan resign setelahnya. Kami sempat beberapa kali bertemu, di GBK, di
masjid UI, buka puasa bersama, dan tiba-tiba saling kehilangan kontak saat pandemic
Covid-19, sampai sekarang beliau seperti menghilang.
Suaminya adalah seorang direktur film, mereka bertemu saat
temanku masih menjadi penulis skrip/naskah film. Aslinya Malang. Ah, seandainya
masih bisa menemukannya, aku ingin sekali kembali banyak bercerita. Jika tidak,
semoga kelak di akhirat Allah pertemukan kami dalam keadaan yang jauh lebih
baik.
Adik ibu menyambutku di Pasar Rebo, membawaku pulang ke
rumahnya. Di sinilah kemudian aku tinggal. Pindah dari kos saudara, menumpang
di tempat Om dan Tante. Sampai setahun kemudian, aku bertahan di sini sambil
menabung agar bisa bayar kos sendiri.
Mengajar Al Qur’an: Menjalani Terkabulnya Doa
Aku ingat betul, saat mengajar di SDIT dan mulai sering
sakit, pernah berdoa sepenuh hati, “Ya Allah, ingin sekali rasanya bisa
mengajar pelajaran khusus Al Qur’an di sekolah, yang gajinya cukup untuk
semua.” Jelas sekali dalam doa itu aku tidak meminta gaji besar, tapi cukup
untuk semua.
Realitanya adalah, gaji sebagai pengajar Al Qur’an di bawah
UMR Jakarta saat itu. Kami hanya wajib mengajar sejak pagi sampai dhuhur, dan
bebas setelahnya. Maka alih-alih pulang, aku lebih memilih mencari penghasilan
tambahan, dan Allah memberiku rejeki lewat lembaga pendidikan Home Schooling. Selain
itu, aku masih bisa berkunjung ke Perpusnas beberapa kali dalam sepekan.
Menjadi pengajar Al Qur’an di SMA Muhammadiyah 3 Jakarta kujalani
sebagai wujud penerimaanku atas terkabulnya doa itu. Aku tidak tahu sampai
kapan, karena tidak bisa berharap kenaikan jenjang karir dan profesi itu bukan lagi
cita-cita besar yang ingin kuwujudkan saat itu.
Pelajaran penting yang harus kucatat baik-baik selama menjadi
pengajar Al Qur’an adalah bahwa mengaji merupakan hak belajar anak yang harus
diberikan sejak kecil. Karena Al Qur’an bukan sekadar kitab suci yang perlu
dibaca lalu dihapal. Lebih dari itu, AL Qur’an adalah kitab petunjuk hidup bagi
manusia.
Bisa membaca merupakan bekal pertama yang harus dimiliki
setiap muslim. Bisa memahami makna, menghapal, dan menerapkannya dalam
kehidupan adalah pelajaran lanjutan yang dapat dipelajari selama tumbuh dan hidup
sebagai manusia. Tanpa kemampuan membaca Al Qur’an, bagaimana mungkin seorang muslim bisa selamat menghadapi hidup?
Covid-19 Mengubah Peta Hidup
Maret 2020, menjadi titik perubahan peta hidup yang tidak
pernah kurencanakan. Instruksi untuk menutup sekolah, semua fasilitas publik
termasuk layanan pemerintah memaksaku mengambil langkah cepat: pulang. Aku belum
berencana meninggalkan Jakarta saat itu, maka hanya Sebagian kecil barang
penting saja yang kubawa.
Sampai sebulan berikutnya, belum ada tanda Covid akan mereda.
Pembelajaran jarak jauh masih diterapkan hingga tahun ajaran baru dimulai
kembali. Aku dilemma, antara harus kembali ke Jakarta melanjutkan peran sebagai
guru Al Qur’an, atau tetap di rumah merawat ibu yang saat itu lututnya sakit,
sehingga sulit melakukan aktivitas sendiri.
Istikharah yang kulakukan sepanjang dilemma itu mendera
meyakinkanku bahwa tinggal di rumah adalah pilihan terbaik. Jika kupilih
meninggalkan rumah dan kembali ke Jakarta, ragaku mungkin akan di sana, tapi
hati dan pikiranku tak bisa berhenti mencemaskan ayah dan ibu yang jauhd ari
pandangan. Apalagi Covid semakin menggila.
Bagikur, resign dari SMAM 3 Jakarta adalah keputusan paling
berat yang harus kuambil dalam sejarah hidupku. Aku masih ingin kembali, tapi
rasanya pilihan terbaik yang harus kuhadapi justru sebaliknya. Aku tidak bisa
mengabaikan petunjukNya, lewat kondisi ibu, Covid yang entah sampai kapan, dan
kenyataan bahwa kos di Jakarta nanti sendiri, karena teman sekamar sudah
menikah dan pulang kampung.
Pulang: Transisi Fase Kehidupan
Allah adalah sebaik-baik pembuat skenario. Lewat semua
keadaan yang diciptakanNya itu, mungkin adalah caraNya untuk menunjukkan bahwa
waktuku di Jakarta sudah habis. Saatnya melanjutkan fase hidup. Kalimat itulah
yang menguatkanku sehingga aku harus mengumpulkan semangat untuk menjalani kehendakNya.
Sebelum dan ketika di Jakarta, sebenarnya aku sempat dua kali
mengikuti seleksi CPNS dosen. Pertama di IAIN Salatiga, yang membuat namaku
hanya bertahan sampai tahap SKD. Kedua saat di Jakarta, namaku bahkan tidak
masuk dalam daftar lulus seleksi administrasi.
Kupikir, memang belum waktunya aku pantas mendapatkan apa
yang kucita-citakan. Selain ikut seleksi CPNS, aku juga daftar di beberapa
perguruan tinggi swasta di Jakarta. Ada yang jelas menolak karena tidak lulus
uji kualifikasi mereka, ada juga yang kutolak karena lokasinya sulit terjangkau
akses pulang.
Aku menyebut kepulangan saat pandemi itu merupakan fase
transisi dari kehidupan sebagai guru dan dosen. Akan kuceritakan pada post
selanjutnya bagaimana aku bertahan hidup di rumah dan mempersiapkan diri
mengikuti seleksi CPNS sampai akhirnya lulus sebagai dosen, sabar ya.
No comments:
Post a Comment