Wacana penggunaan aplikasi My Pertamina untuk pembelian pertalite di seluruh SPBU sudah mulai uji coba di 11 kota. Bagaimana seharusnya sikap kita menghadapi aturan yang menuai polemik di tengah masyarakat ini?
Mau menolak, nanti nggak boleh beli Pertalite. Mau terima, ternyata nggak semua masyarakat kita “melek” teknologi. Kasihan kan meskipun kita bisa beli Pertalite dengan mudah, tapi para pejuang nafkah kesulitan menyesuaikan diri dengan zaman?
Bagaimana dengan para sopir yang hanya punya HP Tulalit? Apa mereka tidak boleh membeli Pertalite? Bagaimana dengan kakek nenek yang ingin menikmati sore naik motor berdua saja, siapa yang tanggung jawab jika mereka kehabisan bensin di jalan?
Atau memang kebijakan ini menggiring kita untuk bersikap individualis?
Saya yakin, orang-orang berjiwa sosialis pasti ada yang ingin sekali menggunakan aplikasi di gawai mereka agar bisa digunakan oleh para pejuang nafkah, agar mereka bebas membeli Pertalite. Atau nanti ada yang mau buka konter akun di SPBU mungkin ya? Lumayan kan misal per motor atau mobil bayar administrasi 2000 per sekali transaksi <50.000 atau 5000 jika pembelian mencapai 100.000. Satu jam saja katakan ada 40 kendaraan mengantre, berapa penghasilan saya?
My Pertamina: Untuk Siapa?
Kebijakan pemerintah untuk mewajibkan pembeli menggunakan aplikasi My Pertamina setiap kali masyarakat ingin membeli Pertalite sungguh patut dipertanyakan. Sebenarnya tujuan kebijakan ini apa dan untuk siapa?
Coba kita berpikir logis. Saat ini orang-orang yang bisa mengakses aplikasi dengan mudah adalah generasi yang lahir setelah tahun 1975. Alangkah kasihan kakek nenek yang tidak semuanya paham penggunaan gawai harus mengakses aplikasi ini setiap kali ingin mengisi bensin.
Kedua, belum semua masyarakat Indonesia memiliki gawai pintar. Ingat kasus belajar online saat pandemi kemarin? Berapa banyak orang tua yang gaptek, merasa terbebani dengan sekolah anaknya. Sebagian dari mereka bahkan memilih tidak peduli pada sekolah anak daripada harus mengeluarkan jutaan rupiah untuk gawai.
Belum lagi urusan sinyal. Jangan terlalu jauh bicara di pulai terpencil. Daerah pedesaan di Pulau Jawa pun masih banyak yang tidak terjangkau sinyal. Di beberapa kota daerah masih ada yang kawasannya hanya tersedia jaringan 3G.
Lagipula, bukankah di SPBU ada larangan menggunakan ponsel? Katanya sinyal akan mengganggu kinerja mesin dan bisa memicu kebakaran. Kan semakin aneh ketika sekarang bayar bensin harus pakai aplikasi. Apa mereka pikir penggunaan aplikasi tidak butuh sinyal? Mau heran, tapi ini Indonesia.
Ulasan Aplikasi My Pertamina
Coba cek Play Store, buka aplikasi My Pertamina. Rating aplikasi saat saya download masih ada di angka 1.9. Beberapa jam kemudian turun ke 1.7. Aplikasi lain yang umum digunakan masyarakat Indonesia seperti WhatsApp, Grab, Tokped, Shopee, dan lainnya yang familiar tidak kurang dari bintang 4.
Jumlah unduhan yang dilakukan pada aplikasi My Pertamina saat ini tentu lebih banyak daripada bulan lalu. Sementara ulasan yang dapat kita baca, hampir semuanya negatif. Aplikasi ini tidak cukup user friendly jadi wajar jika diunduh bukan karena suka, tapi terpaksa dan semata karena butuh.
Yakin, kalau pemerintah tidak mewajibkan penggunaan aplikasi My Pertamina untuk beli bensin yang sudah jadi kebutuhan pokok, jumlah unduhan tidak akan banyak. Yakin, saat ini belum 10% penduduk Indonesia bisa menggunakan aplikasi tersebut dengan baik.
Tujuan Penggunaan Aplikasi My Pertamina
Sampai saat ini tidak jelas apa motif pemerintah “memaksa” masyarakat untuk menggunakan aplikasi ini saat mengisi BBM. Website resmi Pertamina menyebutkan bahwa aplikasi ini dibuat untuk memudahkan. Faktanya tidak, sungguh aplikasi ini hanya akan menyasar sebagian kecil masyarakat yang sudah familiar dengan teknologi aplikasi.
Menurut artikel Tempo tanggal 29 Juni 2022 menyebutkan bahwa staf presiden membeberkan penggunaan aplikasi ini dilakukan untuk memastikan subsidi tepat sasaran. Sementara saat saya mendaftar hanya perlu memasukkan nama dan no.HP.
Apakah status ekonomi kita mampu dibaca oleh aplikasi dengan data tersebut? Sementara teknologi NIK saja belum terintegrasi ke semua instansi pemerintah. Bagaimana cara kita percaya alasan ini benar?
Oh, rupanya untuk bisa membeli BBM bersubsidi harus mendaftar lagi dengan memasukkan data yang lebih lengkap, termasuk foto kendaraan. Eh, berarti yang bisa mengisi tangki kendaraan itu cuma pemiliknya dong? Kalau lagi dipinjam terus bensin habis, harus beli pertamax, gitu? Aduh..
Sejujurnya saya lebih curiga pemaksaan penggunaan aplikasi ini bertujuan menghilangkan subsidi BBM suatu saat nanti. Dengan filter otomatis: siapa yang tidak menggunakan aplikasi, maka tidak mendapat diskon dan harganya lebih mahal setiap liter.
Kemudian kita sadar bahwa justru orang kaya mampu mengakses aplikasi dan mendapat potongan harga jatah subsidi dengan bebas dan mudah. Lalu apa yang bisa didapatkan oleh orang dengan status ekonomi menengah ke bawah? Mereka yang bahkan tidak mampu mengisi kuota internet setiap bulan.
Bayangkan jika untuk melancarkan penggunaan aplikasi, setiap SPBU harus dilengkapi dengan WiFi gratis. Apa ini tidak akan mengganggu sinyal kinerja mesin pompa? Atau memang sebenarnya tidak masalah menggunakan HP di SPBU?
Lalu bagaimana mengatur mobil mewah yang seharusnya bisa beli BBM nonsubsidi untuk patuh membeli sesuai “kelas” mereka?
Belum lagi perkara hanya LinkAja yang terafiliasi sebagai alat pembayaran. Sekali isi ulang saldo, ada bea administrasi sebesar Rp1000,- per sekali isi. Bayangkan berapa ribu pengisian saldo setiap harinya? Sunggu strategi bisnis yang cermat.
Pertanyaan di atas setengah penting dan nggak penting sih ya. Mungkin para pemangku kebijakan nggak baca tulisan ini, jadi nggak paham masalah masyarakat luas itu apa kalau kebijakan itu beneran dijalankan di seluruh pelosok Indonesia. Minimal, saya sudah menuangkan isi kepala agar dibaca banyak mata dan akal.
Apakah selanjutnya My Pertamina semakin diminati dan bermanfaat bagi seluruh rakyat, atau sebaliknya, biar waktu yang menjawab. Khusus saat ini, pembelian melalui aplikasi hanya khusus untuk mobil dengan cc lebih dari 2000.
Ntah nanti, seiring berjalannya waktu apakah My Pertamina akan mampu menarik masyarakat awam dari ke-gaptek-an perangkat pintar. Secara pribadi kalau memang keberadaan aplikasi ini semakin membuat penduduk Indonesia sejahtera tidak masalah. Semoga kelak ada sistem yang lebih canggih bisa diterapkan tanpa kontra masyarakat luas.
Marahi pengin misyuh
ReplyDelete