Ada sebuah sekolah dasar di Kabupaten Jombang yang jauh dari jangkauan modernitas zaman. Sekolah ini adalah satu dari ratusan sekolah di daerah lain di Indonesia yang mungkin memiliki nasib sama. Letaknya jauh dari kota, tidak ada angkutan pedesaan, tidak terjangkau ojek online, tapi masih bisa mengakses internet meskipun sinyal lemot.
Jangan cari timezone, bianglala, pinball, dan berbagai
macam mainan yang tinggal pencet atau lompat di tempat. Mainan anak-anak yang
familiar di desa ini adalah yuyu sawah, bluron, atau main bola. Jangan
tanya soal PUBG, Minecraft, FF, Counter Strike, anak-anak itu belum
familiar.
Mau pakai paket internet dari provider apapun, sinyal 4G bisa
terdeteksi datang dan pergi. Kadang 4G muncul, seringnya berubah jadi H+ atau
bahkan 3G. Tidak jarang berubah jadi E, kemudian tidak ada chat yang
berhasil masuk. Apalagi kalau sudah berada di dalam ruang, baik kelas atau
rumah, sinyal internet hanya terdeteksi satu-dua strip, atau hilang sama sekali.
Sekolah ini adalah MI Muhammadiyah 11 Pojokkulon, Kesamben, Jombang.
Tempatku dulu menikmati masa kecil, tumbuh dan mulai menyadari ada potensi
akademik dalam diriku. Selama duduk di kelas 2-6, peringkat 1-3 selalu
tercantum di laporan hasil belajarku. Hanya sekali saat kelas 3, aku dapat
rangking 8, mungkin karena ada yang ketahuan menyontek jawabanku saat ujian. Yang
kasih contekan, dapat nilai jelek. Nasib.
Setelah lulus dari sekolah ini, aku melanjutkan pendidikan ke sekolah
sesuai pilihanku, semua swasta hingga lulus S1. Kecuali saat S2, aku memilih
PTN. Karena MIM 11 ini dekat rumah, aku tahu perkembangannya dari waktu ke waktu, dan ada sesuatu yang menarik ingin kubagi lewat tulisan ini.
Sekolah Para Juara
Dulu, saat aku sekolah di sini, ruang kelas hanya ada 5, ditambah 1
kantor guru. Kelas 1 yang tidak punya ruang sendiri mengungsi di bangunan bekas
pondok samping masjid. Sampai sekitar tahun 2004, ruang kelas 2, 3, dan 4
dipugar karena hampir rubuh, kala hujan bocor dimana-mana dan dijadikan 4
ruang, setelah itu di sebelah timur satu lokal ruang kelas dibangun di atas
tanah wakaf samping sekolah.
Sampai saat itu, halaman depan masih tanah yang becek saat musim hujan,
dan berdebu saat musim kemarau. Terbayang betapa menyedihkan sekolah di sini?
Jangan tanya soal perpustakaan. Hasrat membacaku hanya terpenuhi dari buku
paket bantuan pemerintah dan beberapa buku cerita lusuh.
Berapa siswa sekolah ini? Jumlah siswanya dinamis, tergantung generasi
yang lahir di desa. Pernah muridnya mencapai 200, per kelas diisi 25-30 siswa. Teman
sekelasku saat itu 29. Sekarang, siswanya tidak lebih dari 100. Pertama karena
jumlah kelahiran di desa memang tidak setinggi dulu. Kedua, beberapa sekolah
baru berdiri di kawasan ini menjanjikan fasilitas lebih modern dan kualitas
pendidikan lebih baik.
Uniknya, sekolah-sekolah di desa ini bersaing sehat untuk membuat menarik
minat siswa. Siswa siswi MIM 11 Pojokkulon tidak hanya dididik untuk mahir di
bidang akademik, mereka langganan menjadi juara lomba di bidang olahraga, juga
baris berbaris yang dulu diselenggarakan setiap tahun.
Ya, MIM 11 yang berdiri dan diakuisisi sebagai amal usaha Muhammadiyah
sejak tahun 1958 ini langganan meraih juara 1 di PORSENI dan lomba gerak jalan.
Ada ratusan piala berjajar di lemari kantor dan kelas, sebagai bukti catatan
prestasi mereka.
Tahun 2017, menjadi titik balik menarik sekolah ini. Kepala sekolah
terpilih adalah seorang wanita tangguh, single, dan punya visi menjadikan
sekolah ini sebagai sekolah para juara.
Ya, visinya seolah mustahil. Mana mungkin sekolah di pelosok desa begitu
mampu mentereng? Kita tidak sedang melihat drama, kan? Bahkan jika mampu bersinar di tingkat kabupaten saja, rasanya
sudah seperti keajaiban turun dari langit. Maklum, selama ini prestasi siswa
mentok di tingkat kecamatan.
Tekadnya tidak surut melihat ekspresi pesimis orang-orang di sekitarnya.
Langkah pertama yang diambil adalah pasang dan langganan IndiHome untuk
sekolah. Bagaimanapun, internet adalah gerbang menuju masa depan penduduk
dunia. Bahkan orang-orang yang tinggal di pedalaman pun tidak mampu menolak
fakta ini.
Sejak saat itu, administrasi sekolah lebih mudah diselesaikan tanpa
kendala sinyal. Anak-anak mulai belajar bagaimana menggunakan internet dengan
aman. Beberapa siswa tentu tidak asing dengan media sosial, tapi mereka juga
perlu tahu apa bahaya internet jika digunakan sembarangan.
Saat Sekolah Terdampak Aturan BDR
Semua keceriaan belajar dengan cara tradisional itu mendadak lenyap saat
Corona datang pada awal tahun 2020. Tidak hanya kantor, fasilitas umum, bahkan
sekolah wajib menyelenggarakan school from home alias Belajar Dari Rumah
(BDR). Bisa dibayangkan betapa panik orang tua saat itu?
Fase awal penyesuaian aturan, semua siswa dituntut untuk memiliki gawai.
Heboh orang tua berusaha mewujudkan kebutuhan anaknya. Sekolah memberi
kebijakan anak-anak yang belum punya gawai pribadi boleh menggunakan smartphone
milik orang tua atau walinya.
Fase tantangan selanjutnya adalah saat gawai tersedia pun, tidak semua
siswa selalu memiliki paket internet cukup. Untuk mengatasinya, anak-anak yang
tidak memiliki paket internet diperbolehkan pergi ke sekolah untuk menggunakan
WiFi Gratis.
IndiHome Pahlawan Pandemi
IndiHome adalah provider penyedia layanan internet dari Telkom Indonesia.
Selain layanan internet, IndiHome juga menyediakan layanan telepon dan TV
saluran internasional. Pelanggan bisa memilih paket layanan sesuai kebutuhan. Kalau
mau paket bundling, ada juga disediakan oleh IndiHome.
Kini, MI Muhammadiyah 11 Pojokkulon benar-benar tumbuh dan berkembang
menjadi sekolah para juara. Para guru berusaha menerapkan blended learning secara
mengasyikkan sehingga membuat anak-anak betah belajar setiap hari. Mari intip
keseruan mereka belajar di sini.
No comments:
Post a Comment