Narasi Gurunda adalah kisah, nasehat, persembahan yang indah untuk bangsa Indonesia. Perjalanan hidup seorang tokoh agama di Malang yang membangun hidupnya detik demi detik, langkah demi langkah dengan keyakinan dan kesungguhan terhadap setiap ayatNya.
Secara pribadi, saya mengenal penulis novelet ini, Jihan Mawaddah, sejak 2019 lalu di ODOP. Semakin mengenalnya, semakin bersinar namanya sebagai pelanggan pemenang lomba blog, aktivis di banyak komunitas menulis, Nasyiatul Aisyiyah, juga sibuk sebagai penyuluh di Kementerian Agama RI. Tahun 2022 kak Jihan terpilih sebagai ketua Komunitas One Day One Post.
Jihan Mawaddah adalah anak ke-3 dari K.H. Achmad Taufiq, yang dinobatkan sebagai “Gurunda” dalam kisah ini. Predikat yang sepadan dengan kepribadian dan langkah hidup beliau sebagai pengajar dan pembelajar sepanjang hayat. Sungguh, sejak mulai membaca hingga selesai, saya sempat menyimpan iri memiliki orang tua seperti beliau.
Privilledge Sebagai Anak Tokoh
Siapa bilang jadi anak tokoh itu enak? Ya, tidak bisa dipungkiri seperti kata orang, ada enaknya memang. Kemana-mana dikenal sebagai anak tokoh tanpa perlu sibuk memperkenalkan diri, dan mendapat teladan langsung dari orang tua setiap hari. Meskipun faktanya, tidak semua tokoh mampu memberi priviledge yang baik untuk anaknya.
Sungguh, sebuah keberuntungan lahir di tengah orang tua yang dikenal masyarakat sebagai tokoh agama. Karena ada banyak tokoh lain yang di luar dikenal sebagai orang baik, sejahtera, tidak kekurangan apapun, tapi di mata keluarganya biasa saja, bahkan cenderung dihindari.
Bahkan tidak sedikit keluarga tokoh agama yang tidak mampu menghalau badai godaan setan. Ah, jangankan tokoh agama, keluarga Nabi pun ada yang berakhir sesat, mungkin karena hidayah tidak melihat siapa orang tua atau teman dekat.
Lalu apa istimewanya menjadi anak dari tokoh agama yang diabadikan namanya dalam kisah ini? Secara pribadi saya melihat beberapa poin yang mungkin tidak sepenuhnya benar, tapi cukup mewakili kisah dalam Narasi Gurunda ini:
1. Model Pendidikan Istimewa
Dalam buku ini dituliskan, bahwa seorang Ustadz Taufiq yang merupakan cucu lurah tidak dibesarkan dengan kelimangan harta oleh orang tuanya. Bahkan sejak orang tuanya memilih tinggal terpisah dari kakeknya, beliau harus terbiasa mencari uang sendiri, menepikan keinginan bersenang-senang dan rajin belajar.
Cita-citanya untuk melanjutkan sekolah setinggi mungkin dan membuat bangga kedua orang tuanya adalah energi utama untuk mengabaikan ajakan teman bermain. Beliau melewatkan rekreasi, bersenang-senang dengan teman sebaya, dan rajin menabung hasil keringatnya demi mewujudkan cita-cita tersebut.
Setelah menikah, punya anak, dan kehidupan ekonominya semakin membaik, beliau tidak otomatis membiarkan anaknya hidup senang tanpa berjuang. Sungguh, model pendidikan yang beliau terapkan kepada anaknya mungkin tak sekeras masa kecilnya, tapi jiwa pejuang tidak boleh luntur dari anak-anaknya.
Jihan dan saudara-saudarinya mungkin tidak harus berjualan kue, menitipkan ke warung-warung demi bertahan hidup dan menabung untuk masa depan seperti ayahnya. Di tangan lembut Sang Ibu dan kebijaksanaan ayahnya, mereka tumbuh menjadi aktivis gerakan Muhammadiyah dan berperan maksimal di ‘ladang’ masing-masing.
2. Akses Pergaulan
Selain mendapat sentuhan pendidikan langsung dari ayah dan ibu yang luar biasa, anak-anak para tokoh mendapat keistimewaan pergaulan yang sulit ditolak. Keistimewaan ini berfungsi sesuai dengan kemampuan masing-masing anak.
Orang tua yang aktif di dunia pendidikan, otomatis mengenalkan anak pada bagaimana kepribadian dan kesibukan orang tua sebagau guru. Akan tetapi tidak menjamin anaknya kelak mengikuti jejak sebagai guru.
Sebagai tokoh, tentu banyak ‘orang penting’ yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kelak anak akan mampu menjadikan semua orang itu sebagai relasi? Belum tentu. Minimal, anak tahu bagaiman aharus bergaul dan mejaga sikap kepada mereka.
Tentu berbeda dengan anak orang biasa, tinggal di lingkungan yang biasa pula. Mereka akan kesulitan berbaur dengan teman sebaya atau lingkungan yang berbeda, terutama jika memiliki kepribadian introvert.
3. Tanggung Jawab Mental
Senang, sekaligus beban mental pasti dirasakan setiap anak tokoh masyarakat. Satu sisi hatinya bangga, bahwa memiliki orang tua yang bermanfaat bagi ummat adalah keikmatan yang langka.
Di sisi lain, anak dituntut untk mampu menjaga nama baik orang tua, keluarga, dan nama-nama lain yang mungkin tidak dikenalnya. Apakah hal ini enak? Jika dianggap sebagai beban mental atas limpahan tanggung jawab, mungkin tidak enak rasanya.
Berbeda jika orang tua mampu mewariskan semangat juang seperti yang dikisahkan dalam Narasi Gurunda ini, maka anak-anaknya tidak ada yang berani membantah. Tidak heran jika hasil didikannya yang keras sekaligus tenang, yang lembut sekaligus tegas menjadi cermin bagi anak-anaknya. Narasi Gurunda menunjukkan bahwa hasil pendidikan merek amelahirkan anak-anak biologis sekaligus idealis.
Menulis Biografi Sang Ayah
Salah satu alasan kuat mengapa kisah ayahanda ini dibukukan, adalah untuk mengabadikan kenangan sekaligus pelajaran dan prasasti sejarah untuk anak cucu kelak. Mungkin saat ini anak-anaknya tahu dan berinteraksi langsung dengan sang ayah sehingga tanpa catatan pun kisah beliau akan tetap dikenang.
Catatan Narasi Gurunda akan menunjukkan seberapa besar rasa cinta dan nikmat yang telah dilalui ayah dan anaknya untuk sampai di titik ini. Betapa besar cinta yang telah mereka terima dan rasakan dari sang ayah, pelajaran berharga dalam hidup, dan teladan yang luar biasa indah.
Berbagi Hikmah Kepada Pembaca Narasi Gurunda
Kisah seorang ayah yang takun, sabar, penyayang dan pantang menyerah ini memang layak disebarluaskan. Hingga siapapun yang membacanya, melafalkan doa agar dikaruniai orang tua dengan sosok yang sama. Hei, apakah ini mungkin?
Jika tidak punya orang tua tokoh semacam Gurunda, tapi ingin meneladani kisah dalam narasi ini, ada cara lain untuk mewujudkannya. Pertama jadikan beliau sebagai teladan untuk berproses, memantaskan diri sebagai orang tua seperti beliau dan istrinya.
Kedua, bersabarlah atas karunia masih adanya orang tua. Mungkin mereka jauh dari sempurna, dari kata ideal bagaimana seharusnya sosok orang tua. Tapi ingat, bagaimanapun orang tua adalah pintu surga anak-anaknya. Dari merekalah ridhaNya bermuara. Doa keduanya bisa jadi merupakan pembuka pintu arsy-Nya sehingga harap kita terkabul.
Ketiga, jika ingin membaca versi utuh kisah ini, langsung hubungi penulisnya ya di akun instagram @jihanmw. Semoga masih ada stok yang bisa dikirim ke rumah kalian. Inilah kesang yang tidak bisa dikatakan singkat setelah membaca Narasi Gurunda, semoga bermanfaat dan semakin penasaran untuk membacanya sendiri, ya.
Thanks for sharing your thoughts. I truly appreciate your efforts and I will be waiting for your next post thank you once again. 온라인바둑이
ReplyDeleteDiving into Jihan Mawaddah’s "Gurunda's Narrative" is like embarking on a journey through a richly woven tapestry of storytelling. Mawaddah’s narrative skillfully blends vivid imagery, intricate plotlines, and profound themes to create a reading experience that is both immersive and thought-provoking. In this blog post, we’ll explore the compelling impressions left by this captivating work and why it’s a must-read for literature enthusiasts.
ReplyDeletereckless driving virginia out of state