Kami tinggal di komplek rumah tua, tanpa tetangga dekat. Sebelah kiri rumah adalah kebun salak. Sebelah kirinya lagi kebun pisang dan pohon jati, sebelahnya lagi lapangan bola. Seberang jalan depan rumah adalah rumah tua kosong yang sudah tidak ada gentingnya. Tinggal dinding rapuh yang berdiri tanpa atap. Sebelah kanan rumah kami adalah kebun salak, sebelum rumah tua yang utuh namun tidak berpenghuni juga.
Jam masih menunjukkan pukul 2 dini hari, saat
ayah mendengar suara deru mesin truk yang berhenti tak jauh dari rumah namun
mesinnya hidup sampai satu jam berikutnya. Ini aneh. Perkampungan kami jauh
dari wilayah industri, jadi truk apa yang melintas sepagi ini? Kalaupun hanya
lewat, harusnya mereka tidak berhenti terlalu lama. Apakah truk itu mesinnya
rusak?
Baca juga: Puisi pesan untuk diri
Setelah satu jam lebih hanya mendengar dan
membiarkan mesin truk itu menyala tanpa ada
pergerakan, ayah memutuskan keluar. Kemudian ketika sampai depan rumah
hendak mendekati truk yang berhenti di kebun samping itu, truk mulai berjalan
pelan lurus ke Timur, lalu berhenti di warung ujung jalan, dekat lapangan.
Warung itu memang biasa buka hingga pagi. Karena sudah dirasa tidak ada
masalah, ayah kembali masuk rumah.
Paginya, ibu bertemu tetangga pemilik warung ujung
jalan itu. Kemudian terbukalah cerita yang didengarnya dari sopir truk semalam.
“Sopir itu turun dari truk sudah seperti orang linglung, Bu.” Ibu yang niat
awalnya belanja, tertahan mendengar cerita ibu pemilik warung.
Baca juga: Review Notes From Qatar 1
Setelah ditenangkan oleh anaknya yang sedang
bergilir menjaga warung, barulah sopir truk itu bisa bercerita. “Saya aslinya
dari Trenggalek. Mau ke PT.DMC, kirim pakan ayam. Kemarin sempat ada kendala,
jadi saya baru bisa kirim malam,” jawab lelaki paruh baya itu ketika ditanya
asal dan tujuanya.
PT. DMC merupakan salah satu perusahaan
peternakan ayam yang berdiri di kampung kami. Letaknya di perbatasan desa
sebelah timur, wajar jika melewati jalan depan rumah untuk menuju lokasi. Anak
ibu pemilik warung itu melanjutkan pertanyaan, “Saya tadi lihat truk bapak
berhenti di sana cukup lama. Apakah truknya rusak?”
“Tidak, tidak. Mesin truk saya tidak ada
masalah. Hanya saya tadi heran. Saat masuk ke gang komplek ini, rasanya sepi.
Wajar karena sudah dini hari. Saya lapar dan ingin mencari warung, Tapi setelah
melewati beberapa rumah, sampai di kebun yang ada pohon jatinya itu kok ramai
sekali. Makanya saya berhenti.” Pak Sopir memulai ceritanya.
“Ramai, Pak? Bapak nggak salah lihat?” Anak ibu pemilik warung bertanya heran.
“Iya, Le.
Di sana tadi bapak lihat ada seperti ada pesta atau pasar malam. Ramai sekali.
Banyak lampu, hiburan, banyak orang. Saya sempat lupa kalau ini sudah dini
hari. Di sana antara seperti pesta atau pasar malam, seperti itulah. Banyak
sekali orang. Saya berhenti, barangkali ada yang jual makanan, saya mau beli.”
Baca juga: Review Jalan Cinta Para Pejuang
“Terus, bapak beli makanan di sana?” Anak
pemilik warung tetangga kami terus bertanya.
“Tidak, ada laki-laki setengah tua yang seolah
mencegah bapak masuk ke pasar itu. Saya bertanya apakah ada warung di situ?
Saya bilang kalau saya lapar, mau beli makanan.”
“Orang tua itu bilang apa, pak?”
“Dia bilang, “kono, nang etan.” Seperti mengusir saya supaya tidak masuk dan
menunjukkan kalau warung ada di sebelah timur.” Lelaki paruh baya itu menghela
napas berat.
“Bapak kenapa di sana cukup lama?” Anak pemilik
warung itu masih penasaran. Bapak sopir truk itu hanya menggeleng, “Saya tidak
merasa berhenti di sana cukup lama, sampai saya menyadari bahwa ini sudah
hampir pagi, bulu kuduk saya berdiri, kemudian saya masuk truk dan maju.
Setelah sampai di lapangan, saya menoleh ke belakang hanya ada gelap. Tidak ada
seperti pesta atau lampu warna-warni. Padahal ini masih dekat sekali, harusnya
pasar itu masih terlihat, kan?”
“Itu kebun kosong, Pak. Kalau siang tampak
jelas, isinya pohon pisang di bagian barat dan jati di bagian timur. Kebanyakan
rumah tua di komplek ini kosong, kecuali rumah pertama paling timur, yang
diapit kebun salak itu, dihuni suami istri dan anaknya.” Anak pemilik warung
menjelaskan, Pak Sopir melongo.
Baca juga: Karya ODOP-ers Tembus Media
Pas banget timingnya, cerita horor maljum 😂
ReplyDeleteUwaw sekali ya mba. Tp emang bener si. Aku sendiri pernah merasakan kejadian gini. Tp ga smpek visual. Cuman kerasa banget auranya haha..
ReplyDeleteLelaki setengah tua itu bukan bapaknya yang bercerita kan?
ReplyDeleteHoror tiba-tiba semua adalah hantu, termasuk narator heheheh