Tulisan singkat ini kususun berdasarkan pengalaman pribadi. Kalau kalian butuh rujukan dengan dasar ilmiah, maka sebaiknya berhentilah membaca dan berpindahlah ke jurnal penelitian. Ya, sebelum menyesal, karena tulisan ini dibuat tanpa studi laboratorium atau semacamnya, hanya untuk berbagi pengalaman.
Tanggal 17 Juli 2021 lalu, hari Sabtu malam,
adalah awal dari semua drama dua pekan terakhir. Tiba-tiba, aku merasakan batuk
karena tenggorokan gatal. Tidak ada tanda-tanda demam atau pusing sebelumnya.
Ibu pikir, tenggorokanku hanya sedang manja karena sebelumnya sempat jajan
kerupuk. Biasanya kami goreng kerupuk sendiri.
Hanya sesekali aku jajan, terutama jika sedang keluar bersam ateman atau saudara. Seperti ke warung Mbok Semah misalnya. Selebihnya, aku lebih suka diam di rumah, mengerjakan yang bisa dikerjakan, atau baca buku Cinta Tak Pernah Tua.
Sabtu malam itu aku tidur agak larut, antara
tubuh yang sudah mulai tidak enak dan batuk yang semakin sering. Tidak ada rasa
curiga ke Covid sama sekali. Mungkin karena saat itu belum tahu, tetangga
sedesa beda gang sudah banyak yang merasakan gejala Covid, jadi masih santai.
Demam Dua Hari
Ahad siang keesokan harinya, wajah terasa
sembab. Padahal nggak abis nangis, atau kelamaan tidur. Persendian juga mulai
terasa capek. Siang masih ke masjid, dan nggak ketemu siapa-siapa. Masjidnya
sepi emang, hehe..
Siang setelah dhuhur itu, demam mulai terasa.
Maghrib ke masjid sempat bertemu tetangga, dia bilang aku pucat. Rasanya udah
semakin nggak karuan dan hatiku mulai curiga, sejujurnya. Malam itu setelah
makan langsung buat minuman
jahe+sereh+kunyit+lemon peras. Rasanya? Asam pedas, hambar karena tanpa gula.
Selain itu, ibu merebus kacang hijau dan airnya
kuminum (ini sudah ditambah gula sedikit, jadi rasanya manis). Terakhir makan
nasi siang hari, menjelang ashar. Itu pun sudah agak “maksa”, karena tubuh
nggak ada nafsu makan. Malam cuma minum yang bermacam-macam itu tadi.
Jam 9 malam, demamku belum reda. Efek dari
minuman rimpang mulai terasa. Sebentar-sebentar, pengen buang air kecil. Untung
ada kamar mandi di dalam, jadi tidak terlalu jauh dari kamar. Setengah hingga
satu jam sekali rasanya, pengen pipis dan jumlahnya tidak sedikit.
Ah, antara pusing karena ngantuk tapi nggak
bisa tidur, demam, dan bolak-balik pengen pipis membuat rasanya nano-nano.
Malam itu, praktis aku nggak tidur nyenyak. Hal paling sulit saat itu adalah
mengungkap kecurigaan pada ibu.
Rasanya pengen banget bilang, “Bu,
jangan-jangan ini gejala Covid. Tolong jangan dekat-dekat aku dulu, ya…”tapi yang
keluar Cuma, “Bu, aku nggak papa, nggak usah dipijit.” Sementara ibu tidak mau
mendengarku. Ya, ibu mana tega dan hanya diam melihat anaknya sakit, pucat, tak
berdaya?
Senin pagi, demamku turun jauh. Rasanya sudah
aman. Batuk masih tapi sudah jarang, masih kubantu minum jahe juga dicampur
berbagai macam rimpang. Senin pagi itu dengan pakai masker dan jaket, aku masih
sempat ke rumah tetangga sekitar satu jam. Ada pekerjaan yang harus kubereskan,
jadi ya harus selesai saat itu.
Selesai dari rumah tetangga, suhu tubuhku naik
lagi. Padahal Senin itu tanggal 9 Dzulhijjah. Aku sudah berniat puasa sejak
shubuh. Ibu ingin melarang, tapi tahu aku bandel kalau sudah punya niat.
Seandainya saat itu ayah tahu aku berniat puasa, pasti dimarahinya. Beruntung,,
ayah hanya menyuruhku membuat susu, tanpa memastikanku sudah benar-benar makan
dan minum atau belum.
Karena nggak kuat, Senin sekitar jam 10 itu aku
minum susu, lalu istirahat. Ayah mendekat dan memeriksa tubuhku yang semakin
demam. Setelah dipijit dan minum susu, aku memilih tidur hingga siang setelah
dhuhur.
Sorenya, aku tetap aktivitas seperti biasa.
Tidak ada pusing, hanya sedikit demam dan rasa melayang. Malam masih batuk,
masih minum jahe yang kurebus bersama sere, bunga lwang, cengkeh dan kapulaga.
Hei, Selasa esok paginya itu Idul Adha. Aku sudah berniat mengurung diri di
rumah, tidak berangkat sholat jamaah.
Selasa pagi, tubuh agak berat untuk bangun.
Sampai hari benar-benar terang, sekitar jam 6 kurang aku baru keluar kamar.
Sholat tetap, tepat waktu ya… Cuma abis shubuh tergeletak lagi di tempat tidur,
dingin plus malas.
Setelah bangun, aku bersiap memberi makan ayam,
ibu dan ayah pergi ke halaman masjid untuk sholat id. Selesai mereka dari
masjid, aku sudah hampir selesai membereskan rumah, mandi dan siap sarapan.
Alhamdulillah, masih bisa makan nasi meskpun keinginan mencicip berbagai rasa
sudah mulai hilang.
Sebelum ashar tiba, Tante ke rumah sama adek
sepupu dan mbak yang dulu karyawan toko. Setelah makan, lalu ashar mereka
pulang. Dalam hati aku sudah banyak berdoa, kalau benar ini gejala positif
Covid, semoga tidak sampai menular ke siapapun.
Rupanya feeling-ku semakin kuat, saat maghrib
tiba kucoba mencium wangi sabun, sama sekali tdak terdeteksi. Lalu kucoba
mencium wangi minyak kayu putih, hanya pedas/mint-nya yang terasa. Selanjutnya,
bau apapun tidak terdeteksi di hidungku. Baik, gejala makin kuat. Aku
mengkhawatirkan ibu.
Selama ini, kontakku paling erat adalah ibu.
Ayah hanya sesekali berpapasan, atau makan bareng terpisah meja sekitar 1
meter. Panik? Sejujurnya iya, tapi apa panik bisa menyelesaikan masalah? Aku
mencoba tetap logis dan tenang. Kalaupun benar ini Covid, bismillah bisa
melewati semuanya.
Apa Perlu Tes Covid?
Rabu siang, ibu mulai demam. Baik, satu lagi
kekhawatiranku bertambah. Bukan aku takut mati saat isoman (Hei, bayang kematian
saat bergejala Covid itu nyata, lho), tapi aku khawatir ibu bergejala sedang
hingga berat. Kucoba pelan-pelan menawarkan kepada ibu untuk swab, tapi
ditolaknya.
“Nggak mau, nanti kalau beneran positif malah
orang-orang takut sama ibu.” Alasan yang sungguh uwuw, kan? Padahal kalau
positif, kita jadi tahu bagaimana harus bersikap. Tidak seorang pun ingin
dipasang oksigen atau ventilator.
Tindakan pencegahan tentu harus dilakukan
supaya ibu tidak semakin parah. “Baiklah Bu, kalau nggak mau tes, mari melalui
semua ini dengan sepenuh doa dan pasrah padaNya.” Aku meminta ibu makan tepat
waktu, dengan lauk bervariasi. Karena nutrisi itu bukan sekadar tentang jumlah,
tapi kualitas makanan. Olahraga dan berjemur juga harus, meskipun dengan kepala
setengah melayang.
Ibu nggak nafsu makan, tapi kupaksa tiap
waktunya tiba. Kusiapkan berbagai cemilan: pisang kukus, roma kelapa, madu,
apapun yang kira-kira bisa menjadi sumber energinya tanpa menumpuk percuma di
dalam tubuh. Termasuk air mineral, harus cukup masuk ke tubuhnya.
Untung pas idul adha, stok daging nggak perlu
beli. Alhamdulillah, sejauh ini ayah juga aman, jadi minimal ada yang bisa
belanja jika terpaksa. Stok sayuran dan apapun yang ada di kebun, alhamdulillah
bisa dipetik. Maka nikmat Tuhan yang mana pantas kudustakan? Tidak ada.
Asupan vitamin C terpenuhi dari jeruk buah yang
tinggal petik depan rumah, atau lemon yang bergelantungan mulai menguning di
depan dan samping rumah. Stok beras aman. Kadang bude yang rumahnya berjarak sekitar
50 meter tiba-tiba mengirim makanan plus lauk lengkap.
Teman sekaligus tetangga dan adek juga tiba-tiba
mengirim bubur ayam ke rumah. Mungkin karena jarang jajan, aku tidak ingin
makanan bermacam-macam, jadi ya pas sakit nggak repot pengen jajan ini itu. Kala
ada ya dimakan, enggak ya nggak papa, udah biasa.
Syukurku Selama Sakit
Sungguh, rasa sakit adalah peringatan agar diri
semakin banyak bersyukur. Karena sakit ini telah menunjukkan betapa nikmat saat
sehat, sering kita abaikan begitu saja. Sakit juga menjadi penggugur dosa. Maka
setiap nyeri, pusing, dan rasa tidak enak yang menyertai adalah rangkaian
ketetapanNya untuk menghapus dosa kita.
Maka aku tidak punya alasan untuk mengeluh,
baik di status atau komunitas. Mungkin tak ada yang menyangka juga kalau aku
beneran sakit saat itu. Beberapa yang tahu dan percaya, mengirimkan doa dan
semangat agar cepat sembuh. Alhamdulillah, doanya sangat bermanfaat mempercepat
kesembuhan, terima kasih, ya.
Syukurku, mungkin tak seberapa dibanding dengan
nikmatNya yang tiada tara. Masih bisa merawat ibu, memenuhi apa yang diinginkan
dan dibutuhkannya, adalah nikmat luar biasa. Berapa banyak teman yang harus
kehilangan orang tua di masa pandemi ini? Sungguh, masih bisa bersama orang tua
dan memenuhi segala hajat mereka adalah nikmat.
Syukurku, harusnya tak terbatas oleh belenggu
nafsu, “Kenapa sakit ini terasa lama?” Hei, sepuluh hari sejak gejala pertama,
kondisiku jauh lebih baik. Masih ada batuk yang kadang menyapa. Masih ada rasa
lelah yang cepat sekali hinggapnya. Lepas dari itu, aku tidak perlu mengerjakan
sholat dengan duduk atau berbaring. Bukankah ini nikmat?
Tidak seharipun kulewatkan tanpa tilawah Al Qur’an,
meskipun murajaah hanya sebisanya, sekuatnya. Ini adalah sebagian kecil dari
syukurku yang sekaligus menjadi pengingat, “Seandainya dengan perantara sakit
ini Allah berkenan memanggilku, semoga catatan amal baik berjalan mengiringi,
bukan menjauh dari diri.”
Aku beruntung, Allah memberi kesembuhan untukku
dan ibu. Meskipun pada Jumat dan Sabtu malam ibu bercerita sempat mengalami
sesak. Aku yang baru tahu pagi harinya merasa kecolongan, “Mengapa semalam tak
kutemani saja ibu tidur di kamarnya? Bagaimana jika … “ Tapi ibu memang menolak
ditemani. Alasannya, khawatir aku tidak bisa tidur karena sudah terbiasa
sendri. Ayah tidur di kamar depan.
Sampai saat ini, ibu masih rutin minum madu
pagi dan sore, makan tepat waktu dan nutrisi sebisa mungkin dipenuhi. Kondisinya
belum benar-benar pulih, tapi sudah jauh lebih baik, Alhamdlillah.
Satu hal penting, jangan biarkan pikiran
negatif menguasai diri saat kondisi tubuh sedang lemah. Saat baik-baik saja
pun, usahakan untuk selalu menjaga pikiran positif dan jauhi penyakit hati. Jauhkan
diri dari hasad, iri, dengki, curiga dan prasangka. Karena sebagian saja dari
prasangka, bisa jadi sumber dosa.
Insya Allah, selama belum saatnya kembali,
sakit apapun bisa sembuh dengan izinNya. Termasuk saat gejala Covid, jangan panik. Lebih baik siapkan imun sejak saat ini. Jika sudah terjadi, terima
sebagai sarana mendekatkan diri padaNya, lalu penuhi nutrisi tanpa tapi.
Semangat, ya…
Terima kasih untuk berbagi penghitungan Anda tentang gejala COVID-19 yang Anda alami. Sepertinya Anda mengalami beberapa gejala sehat dan tidak menuntut. Namun, penting bagi setiap individu untuk melakukan tindakan preventif terhadap virus SARS-CoV-2, termasuk menggunakan masker, mempraktikkan pembersihan tangan, dan menjaga jarak sosial minimal 1 meter. Selain itu, pastikan untuk melakukan pengujian COVID-19 jika Anda merasa suspekt atau telah bertemu dengan seseorang yang positif. Berminat untuk mempelajari lebih lanjut tentang gejala COVID-19 dan cara mencegah penularan virus tersebut.
ReplyDeleteAccused Of Domestic Violence in New Jersey
Driving Without A License New Jersey
Domestic Violence Central Registry New Jersey