Tidak sedikit orang tua atau bahkan guru yang ketika mengajar anak mengaji menerapkan standar belajar Al Quran rendah. Mereka berpikir, “Ah kan dia masih anak-anak, biarkan saja sebisanya. Nanti diperbaiki setelah dia dewasa.”
Buktinya, semakin besar, bacaan yang tertanam baik untuk tilawah maupun hafalan terlanjur salah. Panjang-pendeknya tidak stabil, bacaan ghunnah (dengung), idzhar apalagi? Dibetulkan pun sulit karena anak terlanjur menyimpan memori pemahaman yang salah dalam otak bawah sadarnya.
Semua Berawal dari Guru
Anak adalah peniru paling ulung, pembelajar paling gigih. Apapun tingkah orang tua, saudara, guru, teman, dan orang-orang di sekitarnya, menjadi sumber pelajaran baginya. Anak tidak peduli benar atau salah, sampai orang-orang sekitarnya mengajarkan filter tersebut.
Fitrah manusia belia belum bisa menerapkan sistem penyaringan informasi untuk membedakan mana yang boleh atau tidak, benar atau salah, sebelum diajarkan. Maka guru menjadi sosok yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan anak.
Baca juga: Review Buku: Bagi Waris Nggak Harus Tragis - Dunia Kifa
Masalahnya adalah, siapa guru pertama anak? Sejak dalam kandungan janin bisa mendengar, merekam emosi ibunya, dia belajar memahami lingkungan. Saat lahir, stimulus berupa suara dan getaran berbagai benda mempengaruhi sensor indera yang dimilikinya.
Maka di fase awal belajar, anak mengenal orang tua, terutama ibu sebagai gurunya. Termasuk dalam belajar Al Quran. Itulah mengapa ada anak yang cepat dan mudah belajar Al Quran, setelah dirunut ternyata ibunya sering mengajaknya mengaji sejak dalam kandungan.
Pada fase sekolah, anak mengenal lembaga pendidikan baik formal maupun informal sebagai tempat belajar. Tidak sedikit anak yang sudah mengenal bangku sekolah sejak usia 2 tahun, masuk baby class, playgroup, hingga kelompok belajar atau TK.
Jika di fase awal anak belum dikenalkan pada Al Quran, tidak sedikit pada fase ini anak seperti mengenal “benda baru” ketika diajari membaca Al Quran. Maka apapun yang diajarkan oleh guru menjadi materi baru bagi otak dan alam bawah sadarnya.
Jika di fase ini banyak guru melakukan kesalahan dengan membiarkan anak belajar tanpa panduan yang benar, itulah standar materi Al Quran yang mereka rekam hingga dewasa. Kasus yang paling banyak terjadi adalah bacaan pendek yang dipanjangkan, dan pengucapan huruf yang kurang tepat.
Apakah membiarkan anak belajar “sebisanya” adalah sebuah kesalahan? Tentu tidak. Akan tetapi guru dan terutama orang tua harus tahu bahwa dalam belajar Al Qur’an, baik untuk membaca, menulis maupun menghafal, ada standar yang tidak boleh dilanggar.
Kemampuan anak yang belum dipaksakan mengikuti standar minimal kelulusan, bisa ditolerir selama anak paham bahwa dia perlu meningkatkan kualitas bacaan. Misal pada pengucapan huruf ro’, atau shad. Tidak masalah jika anak usia TK belum paham soal ini. Akan tetapi dia harus paham bahwa bacaannya belum sempurna.
Baca juga: Cara Menerima Takdir Maha Sempurna di Tengah Ketidaksempurnaan Rasa - Dunia Kifa
Selama dia tidak lupa membedakan huruf yang satu dengan yang lain, maka pelajarannya bisa naik ke level 2” membedakan mad. Baik bacaan panjang yang ditemukan dalam harakat kasroh, dhommah, maupun fathah.
Jika anak belum bisa membedakan huruf dengan baik, meskipun usianya lebih dari 10 tahun, maka sebaiknya jangan biarkan ia naik level. Begitu juga ketika belum bisa stabil membedakan panjang/pendek bacaan, jangan ajarkan padanya bacaan sukun, dengung maupun idzhar.
Metode Pembelajaran Al Qur’an
Keprihatinan mengenai kondisi pembelajaran Al Qur’an yang tanpa standar inilah mendorong para ahli membuat berbagai metode dan sistem pembelajaran Al Quran. Saat ini ada banyak sekali metode pembelajaran Al Qur’an yang digunakan di sekolah dan lembaga pendidikan Al Qur’an. Mulai dari TK, TPA, SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/MA.
Baca juga: Review Buku Hai, Anak Cucuku: Sebuah Cermin Sosok Tuan A.Hassan - Dunia Kifa
Metode pembelajaran ini memasang standar tertentu dengan kualitas guru yang juga distandarisasi. Lembaga pendidikan yang menggunakan metode pembelajaran Al Qur’an bisa menghasilkan siswa dengan kualitas bacaan yang lebih baik dibanding tanpa metode.
Bukan berarti tidak ada lembaga pendidikan atau majelis pengajaran Al Qur’an yang memiliki kualitas baik. Akan tetapi adanya metode pembelajaran khusus tersebut sangat berpengaruh terhadap penerapan standar pembelajaran Al Qur’an untuk anak.
Standar yang ditetapkan oleh metode, didukung dengan sistem dan pengajar yang qualified tentu meningkatkan kualitas hasil belajar. Satu hal yang perlu digarisbawahi dan menjadi kunci keberhasilan penerapan metode ini adalah: kualitas guru.
Metode yang baik tanpa guru yang memenuhi standar kualifikasi hanyalah seperti tong kosong. Begitu juga sebaliknya, guru yang baik tanpa dibekali cara mengajar yang sesuai dengan kebutuhan anak, tidak bisa diharapkan terlalu tinggi hasilnya.
Modal Belajar Anak
Penerapan metode pembelajaran Al Qur’an bisa jadi tidak sebaik yang diharapkan jika penerapannya tidak sesuai dengan modal belajar anak. Ada beberapa tipe modal belajar anak yang dominan: audio, visual, dan kinestetik.
Ada anak yang lebih mudah menangkap pelajaran melalui suara, maka pendengarannya sangat peka. Ada anak yang mudah sekali belajar melalui video dan permainan warna, sehingga penglihatannya tajam dan teliti. Ada juga anak yang lebih mudah belajar melalui gerakan, sehingga aktif di setiap forum belajar.
Setiap anak yang dominan pada salah satu modal belajar bukan berarti tidak mampu belajar dengan modal lain. Hanya ketika pengajar bisa memaksimalkan modal yang dimiliki anak, proses pembelajaran tentu diterima dengan jauh lebih mudah oleh anak.
Memilih Sistem Belajar Ramah Anak
Lalu bagaimana menghubungkan pencapaian standar belajar Al Quran dengan modal belajar yang dimiliki anak? Tentu orang tua dan guru perlu mengenal anak dengan baik manfaatkan modal yang dimilikinya untuk memilih metode yang tepat.
Ada banyak metode belajar Al Quran yang saat ini banyak digunakan di sekolah dan lembaga pendidikan Al Quran. Seperti Wafa Indonesia, Ummi, Qiroati, Tilawati, dan sebagainya. Masing-masing metode tersebut hanya berbeda pada cara pengajaran dan lagu yang digunakan. Secara prinsip materi, semuanya sama.
Jangan korbankan standar karena menilai anak tidak mampu belajar dengan baik. Padahal jika orang tua dan guru lebih teliti, bisa jadi anak hanya membutuhkan metode yang tepat untuk mencapai standar minimal yang harus dituntaskannya.
Belajar Al Quran sejak anak-anak tentu jauh lebih mudah dibanding ketika sudah dewasa. Oleh karena itu masa pembelajaran emas mereka perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menerapkan standar yang benar.
Lagi-lagi, guru dan orang tua harus mampu menanamkan pamahaman kepada anak bahwa standar pembelajaran Al Quran tidak bisa ditawar. Demi kualitas bacaan dan masa depan anak, serta untuk menjaga Al Quran sebagai kitab paling sempurna sekaligus paripurna, maka jangan biarkan ada anak muslim yang tidak bisa membacanya dengan baik dan benar.
No comments:
Post a Comment