Beruntunglah Para Survivor Covid
Saya mulai berpikir (sebenarnya udah lama sih mikirnya, cuma baru ditulis), bahwa orang-orang yang terkena Covid-19 itu beruntung. Bagaimana tidak? Mereka punya kesempatan untuk menghadapi hidup dengan dua pilihan singkat yang tidak benar-benar bisa dipilih, tapi bisa dipersiapkan.
Pilihan yang harus dihadapi orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 kan cuma dua: sembuh dan melanjutkan hidup di dunia atau mati menuju kehidupan abadi. Padahal setiap orang hidup ya selalu punya dua pilihan: hidup dengan segala konsekuensi yang menyertai, atau mati jika sudah waktunya.
Tapi mengapa tidak terasa demikian ya, pilihan yang muncul bagi orang yang sehat? Seolah hidup masih begitu panjang. Padahal sama saja, sebenarnya maut lebih dekat daripada urat nadi. Padahal mati, bisa punya milyaran cara untuk datang ketika sudah saatnya. Tanpa peduli siapa sedang di mana.
Kematian Akibat Covid Menghampiri Keluarga
Kemarin pagi, sebuah kabar duka datang dari Pasuruan. Salah satu sepupu Ayah meninggal akibat Covid-19. Beliau seorang pimpinan pondok pesantren. Salah satu keponakan kesayangan nenek. Bagiku, beliau orang baik, sholeh, dan sangat dermawan. Sejak kecil, sampai sekarang sudah lulus magister, setiap bertemu beliau pasti ingin memberi saya uang saku.
Bagi beliau, anak gadis selama belum menikah adalah anak kecil bagi orang tuanya. Sementara saya ingin dianggap anak kecil selamanya sama orang tua. Biar bebas bisa manja. Haha… eh padahal tinggal jauh dari rumah sudah melatih saya untuk mandiri.
Terakhir bertemu beliau dan sempat ngobrol hangat adalah dua tahun lalu, ketika nenek masih dirawat di RS, sebelum meninggal. Kabar beliau positif Covid sudah beberapa pekan ini. Kami tidak tahu update kondisinya setiap hari. Tiba-tiba, tadi pagi dapat kabar beliau meninggal… Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun…Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu.
Rasanya kehidupan dan kematian hanya berbatas tabir tipis saja. Kami memang tak lagi bisa berbincang lama, hangat, saling menyapa dan memberi kabar. Tapi sesungguhnya, beliau hanya berpindah alam. Sekarang sudah hidup di keabadian. Sedangkan kami, kita yang masih bisa menulis dan membaca tulisan ini?
Masih harus berkutat dengan segudang pilihan lengkap dengan konsekuensinya. Mimpi-mimpi, godaan, ujian, termasuk rasa senang dan sedih yang datang silih berganti. Apakah berarti lebih cepat mati lebih baik? Belum tentu. Semua sudah ditakarNya. Allah selalu beri kita kesempatan terbaik dalam hidup, kan?
Derita Keluarga Pasien Covid
Mungkin kisah pasien Covid tidak bisa di-generalisir. Tapi biarlah catatan ini menjadi pengingat suatu hari nanti. Atas cerita yang terjadi kemarin. Beliau, K.H Abdurrohman, biasa dipanggil Rohman. Saya biasa memanggilnya Pakde Man. Karena beliau adalah kakak sepupu ayah. Sekitar pertengahan bulan lalu dinyatakan positif Covid-19, kemudian dirawat di rumah sakit.
Cerita ini dituturkan secara lisan oleh istrinya, saat kami takziyah kemarin siang. Sejak beliau masuk RS hingga kabar beliau meninggal, keluarga tidak mendapat laporan perkembangan pasien dari rumah sakit. Sampai ketika kemarin kritis, malah pasien yang langsung mengabarkan kepada keluarga. Jadi sedikit sekali kontak keluarga dengan pasien selama di rumah sakit.
Membayangkan beliau sakit sendirian, menderita, jauh dari keluarga, rasanya menyesakkan sekali. Bahkan di saat terakhir hidupnya, harus dihadapi sendiri, jauh dari keluarga. Entah bagaimana perlakuan para tenaga kerja di sekitarnya. Semoga sudah melakukan upaya terbaik. Atau mungkin kuwalahan karena banyaknya pasien serupa di rumah sakt yang sama. Allahu a’lam.
Kami ikhlas, Allah lebih sayang pada beliau. Dengan menyudahi rasa sakitnya, dengan menjemput beliau melalui perantara malaikat maut. Semoga tempat terbaik di sisiNya menanti Pakde. Semoga amal kebaikan beliau, ilmunya menjadi jariyah yang tak putus oleh kematian. Semoga putra-putri beliau yang sedang berjuang menjadi hafidz dan hafidzah, selalu dalam penjagaanNya.
Mempersiapkan Kematian
Dengan pola kedatangan malaikat maut yang tidak bisa diprediksi, hingga saat ini mati masih menjadi misteri. Sebagian orang ada yang menunjukkan pertanda akan segera dijemput malaikat maut. Entah sengaja memberi tanda atau tidak. Sebagian yang lain, pergi dari kehidupan dunia tanpa satupun pertanda. Tiba-tiba, seolah tanpa rencana.
Saya teringat beberapa waktu lalu, seorang sahabat menenangkan kekhawatiran saya setiap kali melepasnya pergi bertugas. Melepas kepergiannya bertugas belum pernah saya lakukan secara langsung. Karena memang kami berjarak sejak lulus sekolah. Tapi setiap tahu berangkat tugas, saya selalu mendoakannya agar bisa pulang dalam keadaan baik-baik saja.
Apalagi setiap ada berita dari tempatnya bertugas, selalu timbul was-was. Hati otomatis berdoa, bukan namanya yang muncul dalam berita. Bukan apa-apa, cuma kepikiran aja misal dia nggak pulang lagi, kami nggak bisa ketemu lagi, akan sulit mendapat sahabat menyebalkan macam dia.
Cukup sekali saja saya kehilangan sahabat yang sudah seperti saudara dalam sebuah kecelakaan. Semoga tidak lagi. Tidak selama saya masih menganggap mereka sahabat rasa saudara. Ah, melow kan jadinya… kehilangan itu berat untuk yang ditinggalkan. Mungkin berat juga untuk yang meninggalkan. Saya pengalaman soalnya. Haha
Lalu bagaimana mempersiapkan kematian?
Meskipun mati itu adalah rahasiaNya, tapi berdasarkan banyak pengalaman sebelum kita, ada beberap teori yang beredar. Pertama, bahwa seseorang “dimatikan” menurut asli dirinya. Begitu banyak ahli ibadah, yang menghadapi kematian saat beribadah. Tidak sedikit orang yang ahli maksiat, menghadapi jemputan malaikat maut juga saat bermaksiat.
Ini membuat kita yang masih hidup bisa bersiap, “kebiasaan apa yang bisa kita bangun untuk menyambut kematian yanga datangnya entah kapan?” Jika kebiasaan yang kita bangun sehari-hari adalah kebaikan, maka semoga kita “dimatikan” dalam keadaan baik. Semoga kita terhindar daei kematian yang buruk. Karena prestasi hidup kita di dunia ditentukan oleh akhirnya.
Pandemi Covid ini mengajarkan kita untuk lebih serius mempersiapkan kematian. Karena meskipun sudah ada vaksin yang mulai disuntikkan, belum seorang pun bisa menetapkan kapan pandemi ini berakhir. Jadi skenario terburuknya adalah, setiap orang harus bersiap menghadapi Covid mampir ke tubuhnya.
Perkara mematuhi prokes adalah kewajiban untuk ikhtiyar. Maka hal ini harus dimaksimalkan sebagai upaya pencegahan. Termasuk memperkuat imun dengan pola hidup dan pola pikir sehat. Namun jika ternyata akhirnya harus menghadapi kenyataan tertular, maka anggaplah itu sebagai takdir yang harus dijalani. Apapun hasil akhirnya, kita harus siap, kan?
Saya sebagai penyintas sudah merasakan itu. Masa2 merasakan titik terendah. Dan sesama penyintas seperti memiliki ikatan, karena kami sama2 berjuang dengan dua pilihan: bertahan atau berpulang.
ReplyDeleteAlhamdulillah ya kak...akhirnya bertahan
Delete