Ah, sudahlah. Dipikir seribu kalipun, tetap tak ada celah. Aku di sini, dia di sana. Terpaut jarak ribuan kilometer jauhnya. Seperti ada tembok raksasa yang terbentang, menjauhkan kesan, membatasi keinginan untuk sekedar saling melempar pandangan.
Aku menyerah. Tak lagi kupupuk rasa ingin bertemu yang sebelumnya begitu menggebu. Tak lagi kucari cara untuk mendekatkan jarak dan memulai cerita di alam nyata. Tidak, tidak akan lagi.“Aku ke Jogja minggu ini.” Katanya.
“Aku ingin ketemu.” Jawabku.
“Jadwalnya padat, aku ngga tahu ada waktu longgarnya kapan dan berapa lama.” Sungguh, selesai membaca kalimat ini, ingin sekali rasanya berteriak di depan telinganya, “Lalu, untuk apa kau beritahu aku?!”
Mengesalkan, bukan? Untuk apa tahu bahwa jarak berbaik hati mendekatkan aku dengannya, sementara waktu enggan memberi kesempatan?
Huh!
“Jangan datang ke Jogja!” Balasku singkat.
“Kenapa?” Kubaca kalimat itu dengan terngiang jelas intonasi nada suaranya yang lembut, penuh pengertian dan kesabaran. Dia memang type lelaki melankolis. Romantis? Entahlah. Aku belum pernah membuktikannya.
“Ada tikus. Nanti kakak di gigit.” Sungguh, aku menjawab asal. Daripada kutumpahkan kemarahan lewat tulisan, sama sekali tak akan bermanfaat.
“Eh, di mana? Ya cari penginapan yang bersih, lah…” Jawabnya polos. Tidakkah dia mengerti bahwa hatiku sedang kesal? Ya, dia ke Jogja di saat yang sangat tidak tepat. Aku sedang ada tugas di tempat lain saat dia datang. Itulah penyebabnya. Maka bukankah sebaiknya aku bilang, “Jangan ke Jogja kalau aku ngga ada di sana!” Tapi kurasa, kalimat itu kekanakan sekali. Maka kupikir lagi. Biarlah dia tak tahu alasan sebenarnya.
“Ada bebek di hotel yang bagus, kak. Percaya deh, ngga usah jadi ke Jogja ya?” Sedapat mungkin kutahan kalimat yang tersaji agar tak menyakiti hati. Sambil, tentu saja menahan bulir bening yang ingin mengalir sejak tadi.
“Bebek apa?” Mungkin di mulai bingung di sana, sebenarnya aku kenapa?
“Bebek kremes sama sambal bawang.” Kubalas cepat. Dia mengirim emoji tertawa lepas. Aku hanya tersenyum. Setidaknya, berhasil menahan amarah adalah prestasi tersendiri.
Ya, sebenarnya tak ada alasan untuk marah. Dia datang ke Jogja untuk urusan pekerjaan. Sementara aku harus pergi dari Jogja pada tanggal yang sama, untuk urusan yang tak bisa ditinggalkan. Tapi kenapa rasanya tak rela dia datang?
“Itu Jogja-ku. Kakak ngga boleh ke sana kecuali ada aku.” Akhirnya kuketik kalimat itu pelan. Lalu kuketuk tombol kirim, sedetik kemudian tanda centang berubah warna menjadi biru.
“Insya Allah, ada waktu dan kesempatan lain untuk bertemu. Jangan marah pada Jogja yang harus menerimaku, ya?” Entah, balasannya sedikit panjang, tak sesingkat biasanya.
Lalu lidahku kelu, jemariku kaku. Padahal, sosoknya tak sedang berdiri di hadapanku. Apakah degup jantung yang rasanya tak karuan ini semu? Karena mendadak suara lain menarik diri dari peredaran. Hanya rintik hujan yang turun, mengaminkan kalimatnya agar menembus sidratul muntaha, mengetuk kasih sayangNya.
“Jangan lupa bawa sandal jepit.” Balasku sepuluh menit kemudian, yang ditanggapinya hanya dengan senyum. Jangan tanya kenapa dia harus bawa sandal jepit. Biarkan itu tetap menjadi misteri
No comments:
Post a Comment