Judul : Ayat-ayat Cinta 2
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit : Republika
Tebal : 698 Hal
Aisha hilang bak ditelan bumi. Tak ada kabar sama sekali. Fahri tak tahu lagi kemana harus mencari. Cintanya yang begitu murni menghalanginya untuk mengenal perempuan lain manapun untuk disunting sebagai istri. Ya, bagaimana mungkin sosok yang hampir sempurna di mata manusia itu menikah lagi, sementara bayangan sang istri masih tercetak begitu jelas dalam hati?
Masih ada harapan Aisha kembali, begitu kata hatinya setiap hari. Foto-foto kenangan, pakaian sang istri, hingga barang-barang pribadi masih disimpan rapi, sebagai bukti bahwa Fahri masih menanti Aisha kembali. Tapi kenyataannya, justru jalan menemukan sang istri tampak semakin buntu. Di sisi lain, amanah dakwah semakin menuntut profesionalitas, kesungguhan dan curahan perhatian. Belum lagi para tetangga yang seolah sepakat membuat drama agar mereka memiliki masalah dan akhirnya, Fahri harus turun tangan untuk setiap masalah mereka.
Konflik
Konflik demi konflik dikemas dengan apik dan diselesaikan dengan cara yang elegan, meski kadang terkesan tidak masuk akal, terlalu imajinatif dan membuat otak berkata: manusia dan kehidupan semacam ini hanya ada dalam angan saja. Tapi secara keseluruhan, novel ini berhasil menyajikan imajinasi yang sempurna.
Berdasarkan materi di kelas fiksi ODOP periode 2017-2018, genre novel ini adalah romance dengan subgenre mainstream romance.
Subgenre ini adalah genre yang paling umum, makanya disebut mainstream. Genre ini paling laris di pasaran, di mana tokoh pasangannya sudah di setting untuk berjodoh, bersama dan bersatu. Tetapi, masalah-masalah harus mereka hadapi. Di dalam mainstream romance ini, masalah selalu tentang cinta. Orang-orang di sekitar ikut memperkuat onflik karena berperan mendukung atau tidak tokoh utamanya bersatu. (Materi Pertemuan 6-hlm.1)
Maka sebenarnya kita tidak perlu heran, kenapa novel AAC 2 laku keras di pasaran? Karena jawabannya sudah jelas, mainstream dan banyak yang suka.
Sosok Fahri yang tampak sempurna di mata manusia zaman now rupanya menuai kritik dari sebagian kalangan. Ada yang bilang sok suci, impossible character, bahkan mencibirnya dengan tambahan penilaian yang jika ditelusuri sebenarnya masih logis -sebagai sebuah novel pembangun jiwa-.
Novel yang sudah diangkat ke layar lebar ini sempat menuai review pedas dari netizen. Ya, sebaik apapun sebuah karya, selalu ada pihak yang tidak menyukainya.
Bagaimanapun, ada dimensi yang berbeda dan tidak bsia dipaksa ketika kita menikmati keduanya. Membaca novel berarti membiarkan imajinasi kita bergerak bebas dan menciptakan berbagai ruang tentang bacaan. Sedangkan dalam film, imajinasi kita “terpaksa” terbatas pada dinding ruang dan scene demi scene yang dihadirkan oleh sutradara. Lalu bagaimana mungkin kita menganggapya sama atau merasa perlu menilai bahwa salah satu tidak boleh lebih baik dari yang lain?
Dari saya pribadi, novel ini sangat layak dikoleksi, dibaca, bahkan diaplikasikan dalam kehidupan -kalau bisa-. Bukankah kita hanya akan menjadi seperti yang kita angan -dan- pikirkan? Maka eruslah berangan dan berpikir tentang orang-orang baik, agar kebaikan itu bersemayam dalam diri dan tumbuh mewarnai pribadi.
No comments:
Post a Comment