Dengan memberi tahu, aku berharap dia berkenan untuk sekedar menyapa di dunia nyata.
"Iya, Ki. Mau kemana?" Balasnya singkat"Ke tempat Neng Ris. Ambil buku." Jawabku datar. Haruskah kuberitahu, bahwa aku ingin bertemu? Sebaiknya tidak. Naluri sebagai wanita mencegahku.
"Iya, baik-baik di jalan ya." Balasnya.
"Kakak sibuk?" Tanyaku sungguh-sungguh.
"Ini mau cari laptop." Oke, cukuplah menjelaskan satu kata: ya.
"Oke, makan dulu. Jangan telat ya?" Akhirnya, tak sepatah pun kuucap keinginan itu.
Temu, seperti begitu mahal bagiku. Satu pinta yang tertahan di ujung kata, tak mampu menembus ruang asa. Ia meringkuk, bersembunyi, namun rupanya siapapun tahu bahwa ia nyata. Keinginan untuk bertemu, begitu wajar adanya.
"Kakak ngga pengen maen bareng?" Tak ada jawaban. Kali ini semakin jelas, jawabannya adalah: tidak, atau lebih tepatnya: tidak bisa. Entahlah, bagiku tampak serupa.
"Kalau mau ke taman anggrek, jauh ngga kak dari sini?"
"Sekarang posisi dimana?"
"Jonggol,"
"Naik angkot 54 turun Roxy ntar sambung 75 turun depan taman anggrek ya."
"Oke, teman-teman pilih naik grab aja."
"Iya, sama siapa aja disana?"
"Neng Ris, Ren, sama Jia."
"Jia siapa?"
"Keponakan, adek sepupuku."
"Oke, tiati ya."
"Jadi cari laptop?"
"Ni mau otewe."
"Oke, kakak baik-baik di jalan ya."
Apakah begitu sulit meluangkan waktu sejenak, kak? Batinku. Tapi memang, aku tak berhak memaksa. Dia sudah punya prioritas jadwal, tak pantas bagiku mengusik, apalagi mengacaukan rencananya.
Temu itu belum berhak jadi milikku.
"Kak, masih sibuk?" Tanyaku lain hari.
"Kenapa, Ki?" Harusnya aku paham, kalimat tanya itu berarti: ya, ada apa?
"Nanya. Pengen cari temen maen. Bosen." Jawaban retoris. Tapi aku tak punya kalimat lain saat itu.
"Lagi dimana?"
"Pasar Minggu."
Hening.
Diamnya adalah jawaban. Bahwa ada hal lain yang harus lebih diutamakan. Ketiadaan jawaban adalah penjelasan, bahwa waktu belum memberi izin untuk sebuah pertemuan. Diam, sekaligus permintaan maaf, atas ketiadaan kesempatan untuk menembus batas jarak dan kerinduan.
"Besok maen ke Ragunan, yuk?" Tanyaku iseng. Sebenarnya, besok memang aku ada perlu ke sana. Mengambil beberapa sampel data penelitian fauna yang sedang kucoba selesaikan. Tentu saja, kalau dia bisa, sekali mendayung, dua pulau terlampaui.
"Maaf, ngga sempat Ki." Balasnya setelah sekian lama tulisanku dibacanya. Mungkin jeda itu digunakannya memeriksa jadwal, meneliti agenda, barangkali ada yang bisa digeser atau ditiadakan.
Rupanya tidak. Dan aku harus menerima kenyataan bahwa temu itu masih berwujud fatamorgana dunia.
Atau barangkali, ada kalimat pernyataan yang tersirat begitu nyata. "Sudahlah, Ki. Tak perlu repot-repot mengabari posisi. Aku tak ingin menemuimu. Tidak untuk saat ini. Semoga engkau mengerti."
Lalu kau memilih diam, mengabaikan setiap pesan. Bahkan untuk pesan yang berupa pertanyaan.
Di sini, di sudut kota yang sama dengan tempatmu berdiri. Aku meniti hari, menelaah kisah diri, adakah ini bagian dari jalan utama yang harus kulakui?
Terima kasih, atas keteguhan hati mempertahankan setiap prioritas yang telah kau susun sendiri. Darimu aku belajar, bahwa kesungguhan, kadang perlu mengorbankan perasaan. Berat, memang. Mengabaikan keinginan yang terpendam tanpa sadar bahwa semua itu ujian.
Lalu pertemuan, kan menjelma dalam taman keindahan, saat garis nasib merenda pertemuan dan selanjutnya, kita tak terpisahkan.
Ditulis dan diterbitkan pertama kali pada 30 Maret 2018
No comments:
Post a Comment