Sunday, 31 January 2021

Keajaiban Rencana

Bukan dokumen pribadi

 

Malam beranjak pagi, mata Ustadz Said belum terpejam. Ia baru saja menyelesaikan draft proposal pembangunan gedung baru sekolah. Format proposal sebagai hasil dari rapat tadi siang memang sudah diselesaikan oleh Pak Syukri, dari bagian tata usaha. Namun sebagai kepala sekolah di SD Muhammadiyah favorit Jakarta Selatan, Ustadz Said perlu memastikan sendiri konsepnya sesuai dengan keperluan semua pihak. Rencananya, proposal itu akan diajukan ke Bank Mandiri Syariah.

Gedung sekolah SD Muhammadiyah 5 Jakarta Selatan memang sudah butuh penambahan. Hampir satu semester tahun ini ada dua kelas yang harus menggunakan masjid sebagai tempat belajar. Hal ini terpaksa dilakukan karena animo masyarakat untuk menitipkan Pendidikan anaknya di SD Muhammadiyah 5 meningkat drastis dua tahun terakhir. Namun tidak ada lagi lahan yang bisa digunakan untuk menambah Gedung baru. Alternatif terbaik sejauh ini hanya satu: pembangunan gedung dilakukan ke atas, menambah dua lantai lagi dari dua lantai yang ada sekarang. Jadi semua ada empat lantai nanti.

Masalahnya, pondasi bangunan sebelumnya tidak dirancang untuk menahan gedung tinggi. Maka, bagaimanapun juga bangunan yang lama harus dipugar dan dibangun ulang mulai dari pondasi. Tentu perlu dana yang tidak sedikit untuk merealisasikannya. Ustadz Said merasa “pantang” untuk minta sumbangan ke wali murid demi gedung baru. Bagi beliau, gedung adalah sarana yang harus disediakan oleh sekolah dalam rangka memberikan fasilitas terbaik untuk anak-anaknya.

Namun pendapat Ustadz Said dibantah beberapa rekannya dalam rapat tadi siang. Mereka berpendapat, sumbangan dari wali murid sah-sah saja selama niat utama mereka adalah untuk wakaf di bidang pendidikan. Jangan ada unsur paksaan dalam membuka ladang pahala. Karena bagaimanapun, Gedung sekolah tersebut akan dimanfaatkan sebagai fasilitas dakwah, menyebarluaskan ilmu dan mendidik generasi masa depan. Akhirnya disepakati, bahwa Gedung baru akan dibangun saat libur semester nanti, sedangkan untuk dana awal diupayakan berasal dari pembiayaan bank syari’ah.

Begitulah hari-hari Ustadz Said sejak SD Muhammadiyah 5 sering mendapat kunjungan dan sorotan pihak luar sekolah selama satu tahun terakhir ini. Bangun pagi, olahraga setelah shubuh, lalu bersiap ke sekolah dan menyambut para siswa dengan salam pagi bersama guru lain. Setelah itu mengurus berbagai kewajiban sebagai kepala sekolah, rapat dengan pimpinan, forum kepala sekolah, dinas pendidikan, dan sebagainya.

Pulang paling cepat adalah menjelang maghrib. Tidak jarang setelah isya’ masih harus menyelesaikan “pekerjaan rumah” demi percepatan kinerja kepala sekolah maupun lembaga yang menjadi tanggung jawabnya. Malam menjadi teman setianya menuangkan ide, menulis, dan membaca buku. Meski demikian, Ustadz Said jarang sekali sakit, kecuali flu ringan atau sedikit kelelahan. Mungkin karena beliau selalu menjaga pola makan sehat dan olahraga teratur.

Esoknya, jam menunjuk angka 12.35 siang ketika Ustadz Said menyelesaikan shalat dhuhur, tiba-tiba gawainya berdering, “Assalamu’alaikum… Ustadz Said, saya sedang mampir di warung Singgalang Bandara Soeta.” Suara khas yang dikenalnya ramah menyapa.

Ustadz Said tersenyum, “Wa’alaikumsalam warahmatullah, Prof. Imam, saya senang mendengar suara antum. Kenapa tidak mengabarkan kalau mau pulang, kan saya bisa jemput?” beliau menjawab telpon dari sang profesor dengan riang, meskipun setengah kaget karena biasanya Prof. Imam perlu ditemani. Tidak peduli tengah malam bahkan dini hari, Prof. Imam memang sering sekali menghubungi Ustadz Said. Adakalanya sekedar menanyakan kabar dan perkembangan sekolah, lain waktu membahas ide-ide yang bermunculan dan khawatir lupa jika tidak segera disampaikan.

Prof. Imam adalah wakil ketua IV Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah. Secara organisasi, beliau bertanggungjawab memantau perkembangan sekolah-sekolah Muhammadiyah seluruh Indonesia. Termasuk SD Muhammadiyah 5, yang saat ini masuk dalam 10 besar SD/MI Muhammadiyah dengan jumlah siswa dan prestasi nasional terbanyak yang di raih.

Prof. Imam Robandi, biasa dipanggil dengan Prof. Imam, tinggal di Jepang setelah menyelesaikan program doctoral di Universitas Tottori, menjadi dosen luar biasa di beberapa kampus di sana. Biasanya saat beliau pulang ke Indonesia, selalu menyempatkan diri silaturrahim ke sekolah-sekolah Muhammadiyah. Jika sedang di Jakarta, Ustadz Said sering menemani beliau.

“Saya hanya sedang transit. Dua jam lagi saya akan melanjutkan perjalanan ke Pekanbaru. Siang ini teh hangat Minang kesukaan Ustadz Said sedang menemani saya, menghadirkan rasa rindu kepada antum dengan tiba-tiba.” Suara renyah Prof. Imam mengundang tawa keduanya.

“Teh di warung Singgalang memang spesial, Prof. Diseduh dari daun teh pilihan yang berasal dari perbukitan di Solok. Jadi angin dan aroma udara Minang terbawa kedalam teh itu.” Ustadz Said berkelakar.

“Iya, saya percaya. Tapi ada yang lebih spesial daripada segelas teh ini, ustadz.”

“Apa itu Prof?” Ustadz Said mengernyitkan dahi. Ide brilian lawan bicaranya kadang tak terduga. Professor elektro yang juga guru besar ITS itu selalu berhasil memantik kemajuan lembaga-lembaga pendidikan di tanah air. Beliau juga yang selama ini banyak mempengaruhi ide dan keseharian Ustadz Said. Memiliki kawan bertukar ide cemerlang memang anugerah yang harus disyukurinya.

“Gedung sekolah antum. Rancangan gedung dari arsitek yang sudah antum kirim tadi malam sangat menarik. Saya bisa melihat nanti kalau sudah jadi, akan membuat anak-anak semaki betah belajar di sekolah. Izinkan mereka belajar sampai sore, sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Sambil terus kita jaga kualitas pribadinya. Jangan sampai meninggalkan kewajiban shalat, ajak mereka mencintai puasa, mengenal Nabi dan para sahabat sedekat mereka mengenal keluarga dan kerabat. Sepuluh atau dua puluh tahun lagi, kita akan dapat melihat generasi yang mencintai Islam sekaligus semangat berprestasi.”

“Insya Allah ustadz, Insya Allah.” Bulu kuduk ustadz Said meremang, mendengar getaran semangat yang meluap dari Prof. Imam.

“Jadi bagaimana, sudah diajukan proposal pembangunan Gedung itu?”

“Insya Allah setelah ini saya ke BSM ustadz, semalam selesai saya edit. Pagi ini saya harus menemui beberapa tamu sehingga belum bisa ke bank.”

“Oh tidak masalah, Ustadz bisa menghubungi Pak Rahman, kawan saya di bagian pembiayaan BSM Pusat sebelum berangkat, barangkali ada yang bisa beliau bantu. Setelah ini saya kirim kontaknya. Semoga Allah mudahkan semua urusan kita, ustadz. Semakin cepat, semakin baik. Ingat bahwa waktu itu bagai pedang, kalau kita tidak bisa memanfaatkannya, bisa jadi kita yang ditebasnya.”

“Jazakallah khoir, prof. semoga perjalanan antum juga selamat sampai tujuan, jika ada waktu silakan mampir kemari, prof. saya akan dengan senang hati menemani antum menikmati coto makassar di daerah Ampera. Barangkali sudah rindu pula dengan tanah para daeng. Hehehe…”

“Baik, ustadz. Terima kasih, insya Allah saya telpon lagi nanti. Assalamu’alaikum.” Prof. Imam menutup telpon. Ringkas, padat, dan selalu bermanfaat. Waktu memang tak pernah berkenan menunggu. Ia terus melaju tanpa ragu, tak peduli kita sudah memanfaatkannya, atau terdiam menunggu. Tak peduli apa yang sudah kita dapati hari ini, atau tidak memiliki hasil sama sekali. Waktu tak pernah ingkar janji.

No comments:

Post a Comment